1. KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2010:124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut
Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti
(displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan
penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini
jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan
mimesis.
Landasan mimesis adalah hubungan
langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan
makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi
untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
a. Penggantian Arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre
disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan
metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya.
Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini
disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat
penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis
bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke,
epos, dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang
mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata
pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi
merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau
sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
Analisis
penggantian arti pada puisi “Nafas Pertama” :
Nafas Pertama
Karya : Sibok Srengenge
Dengan semesta cinta
kautiup aku ke rongga bola kaca
napasmu menjelma udara di ruang
hampa
dan aku mengembara tanpa rupa
Terkurung di dalam gelembung
yang sesungguhpun luas namun
terbatas
terasing dari hening abadi
gemuruh ruh meluruh tubuh
jadi sekutu rubuh
Napasmu nyusup menadur denyut di
relung jantung
dihalau dan dihela denyutmu darahku
mengalir
dari dan ke jantung yang kaujadikan
hulu dan hilir
Dipantulkan dinding jantungku
denyutmu bergema
mengecup urat syaraf yang tidur
Dibisiki denyutmu jantungku berjaga
menyalur gerak ke sekujur
Hidup adalah napasmu
mengalir di dalam tubuhku
1999
Dalam
puisi tersebut terdapat “gelembung yang sungguh luas namun terbatas” merupakan
lambang dari keterbatasan, sepertinya terlihat bebas namun sebenarnya
gerak-geriknya terbatas. Seperti bayi yang masih berada dalam rahim.
·
Metafora. Misalnya, “hidup adalah
napasmu” maksudnya hidup seseorang bergantung pada setiap hembusan napas,
“dinding jantung” maksudnya jantung manusia.
·
Allegori. Misalnya, “rongga bola kaca”.
·
Personifikasi. Misalnya, “napasmu
menjelma”, “napasmu nyusup”, “jantungku berjaga”, “denyutmu bergema”, “mengecup
urat syaraf yang tidur”.
Dalam
puisi untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus
untuk membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga
untuk menarik perhatian, penyair juga memberikan gambaran angan/pikiran
(citraan).
Citra
penglihatan contohnya : “aku mengembara tanpa rupa”, “terkurung di dalam
gelembung”
Citra
gerak contohnya: “kautiup aku ke rongga bola kaca”, “napasmu menjelma”,
“napasmu nyusup, “dipantulkan dinding jantungku”, “dibisiki denyutmu.”
Citra
pendengaran contohnya : “gemuruh ruh”
b. Penyimpangan Arti
(distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif
atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan,
penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2)
mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama
oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh
bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi.
Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun
kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang
secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi,
tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna.
Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra.
Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk
mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi
yang bergaya mantra.
Analisis Penyimpangan Arti pada puisi
(1) Ambiguitas
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa sastra
itu bermakna ganda (polyinterpretable), apalagi di dalam puisi.
Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal ini
disebabkan oleh sifat puisi yang berupa pemadatan.
Analisis Puisi :
Kenangan
Seperempat Abad Silam
Karya
: Ahmad Syubbanuddin
jalan-jalan masih berdarah, lika
pohon
berkabut dalam risik gelisah, riuh
pertempuran
menghambur
hancur ke pelukanku semalaman, dan…
Aku terlunta memandang pematang
tubuhku penuh ilalang
halilintar menggelepar,
bayang-bayang kematian terbentang
juntaian bunga api, bilur fajar
pagi, dan kilau cahaya galaksi
merayakan kesepian panjang. Dan
seperti tak pernah mengenalmu
senantiasa, kuciptakan kembali
busur kiblat untuk mengungsi
dari puing-puing, juga retakan
waktu yang berangkat tua
menyentuh ulu hatiku dengan sisa
kenangan, seperempat abad silam :
alunan dzikir, samudera takbir, dan
gemerincing gerimis muram
berpendaran dari sayatan
hari-hariku menjadi rintihan puisi
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan
masa kanak-kanak itu melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari,
doa-doa para sufi beterbangan. meniti
tangga-tangga dan pintu langit ampunanmu
rasi bintang-bintang menyisih dari
pusaran lambung matahari
deru angin berhamburan membelah
pecah imanku yang menganga
tapi seperti Ibrahim, aku masih
menemukan isyarat dan getar rahasia
wajah pualam rembulan, hamparan
laut kelam, kemudian kesunyian
di kejauhan, seribu purnama
menyepuh berhelai-helai air mataku
yang tergerai dan berdarah, mencium
sajadah dan hulu tanah
menara-menara masjid menjulang,
ayat-ayat suci bermekaran
di tengah kolam teratai yang
bertasbih perih dalam rongga dadaku
seperti orang alim, kuterima
gulungan lumpur dan gosong rawa-rawa
juga semenanjung karang, perahu
para perusuh yang datang dari jauh
melewati metabolisme darah untuk
menyalahkan serat api yang angkuh
kelak melumuri separoh kota menjadi
kilang minyak, kau seduh dengan gembira
jeritan caci-maki, lengking
gelak-tawa dan rangkaian panjang selongsong senjata
mengapakah perkampungan miskin yang
papa kauhanguskan juga menjadi arang
dan menyekapku di tengah kepulauan
negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
kini, kulupakan kenangan seperempat
abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
peisisir bendungan dengan tanah
segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Semuanya
berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan…
Cirebon, 1999-2000
Dalam puisi, sebuah
kata tidak hanya mengandung aspek denotasi, bukan hanya berisi arti yang
ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya, penyair lebih memilih
kata “serdadu” daripada tentara, kata “pematang tubuhku” dinilai penyair lebih
apik daripada kata badanku. Frasa “kilau
cahaya galaksi” dinilai lebih bermakna
daripada kata cahaya langit. “bunga api” labih bagus daripada percikan api.
Selain itu “alunan dzikir” dinilai lebih mengena daripada suara dzikir.
baris kalimat yang
mempunyai tugas ganda : meghubungkan bagian yang mendahuluinya dan bagian
berikutnya atau bagian yang mengikutinya (Suharianto, 2009 : 30 ). Dalam puisi
tersebut ada baris yang berupa kalimat atau kata yang masih merupakan
kelanjutan dari baris sebelumnya, namun dipisah dalam baris yang berbeda. Hal
tersebut dilakukan karena untuk menonjolkan makna yang ada dalam setiap baris
tersebut. Contoh :
di kejauhan, seribu purnama menyepuh
berhelai-helai air mataku
yang tergerai dan berdarah, mencium
sajadah dan hulu tanah
(2)
Kontradiksi
Seringkali
puisi itu menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal itu untuk membuat pembaca
berpikir, hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan di dalam
sajak. Kontradiksi atau pertentangan ini disebabkan oleh paradoks dan ironi.
Analisis
Puisi :
SUJUD
Mustofa Bisri
Bagaimana
kau hendak bersujud
Pasrah
Sedang wajahmu yang bersih
Sumringah
Keningmu
yang mulia
dan indah
Begitu
pongah
Minta
sajadah
Agar tak
menyentuh
tanah
Apakah
kau melihatnya
Seperti
iblis saat menolak
menyembah
bapakmu
Dengan
congkak
Tanah
hanya patut diinjak
Tempat
kencing dan berak
Membuang
ludah dan dahakl
Atau
paling jauh hanya
Lahan
pemanjaan
Nafsu
serakah dan tamak?
Apakah
kau lupa
Bahwa
tanah adalah bapak
Dari mana
ibumu dilahirkan
Tanah
adalah ibu
Yang
menyusuimu
Dan
memberi makan
Tanah
adalah kawan
Yang
memelukmu dalam kesendirian
Dalam
perjalanan panjang
Menuju
keabadian?
Singkirkan
saja sajadah mahalmu
Ratakan
keningmu
Latakan
heningmu
Tanahkan
wajahmu
Pasrahkan
jiwamu
Biarlah
rahmat agung
Alloh
membelaimu
Dan
terbanglah, kekasihku!
Paradoks
mengandung arti bertentangan, seperti tampak pada bait pertama, baris /bagaimana
kau hendak bersujud/ pasrah/ sedang wajahmu yang bersih/ sumringah/ begitu
pongah/ minta sajadah/ agar tak menyentuk tanah/. Seseorang yang mau
bersujud tetapi minta tidak menyentuh tanah. Selanjutnya pada bait kedua,
penyair menyindir dengan pertanyaan yang di dalamnya berisi
pernyataan-pernyataan iblis yang tidak mau bersujud kepada Adam (Iblis menolak
perintah Alloh). Selanjutnya, pada bait ketiga, penyair mengingatkan kepada
pembaca /apakah kau lupa/ bahwa tanah adalah bapak/ dari mana ibumu
dilahirkan/ tanah adalah ibu/ yang menyusuimu/ dan seterusnya.
(3)
Nonsense
Nonsense
adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya
berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya
sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan
konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense
itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan
dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik.
Analisis
Puisi :
AMUK
Sutardji Calzoum Bahri
…..
aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semua pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengan kucing memanggilMu
Izukalizu
Mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam logotokoco
zukuzangga zegezegezezukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh…..!
mama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Kata-kata
seperti pot, izukalizu, mapakazaba, itasatali, tutulita, papaliko
arukabazaku kodega zuzukalibu, dan seterusnya adalah contoh
kata-kata yang nonsense. Di sinilah terjadinya penyimpangan arti tersebut.
c. Penciptaan Arti (creating of
meaning)
Penciptaan
arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam
karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di
luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan,
enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan adalah
pengaturan bait-bait; Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada baris
yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai pengaturan bunyi pada akhir baris;
Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak; Homologues
adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada
pantun).
Analisis
Penciptaan Arti pada puisi “Ngung Cak”
:
Ngung Cak
Karya
Danarto
Ng
Ngung
ngung ngung
ngung ngung ngung
ngung ngung ngung ngung ngung
ngung ngung ngung ngung
cak cak cak cak cak cak
cak cak cak cak cak
cak cak cak cak
cak cak cak
cak cak
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst kIst
kIst
Dalam
puisi Ngung Cak karya Danarto, terdapat persamaan konsonan yaitu Aliterasi [ng]
pada bait Ngung ngung ngung ngung ngung.
Aliterasi
[c] dan [k] pada larik Cak cak cak cak cak cak.
Aliterasi
[k], [l],[s],[t] pada bait Klst.
Selain
aliterasi, juga terdapat asonansi yaitu persamaan vocal yaitu asonansi [u] pada
bait
Ngung ngung ngung ngung ngung ngung.
Ngung ngung ngung ngung ngung ngung.
Asonansi
[a] pada larik Cak cak cak cak cak cak
Puisi Ngung Cak memiliki kode-kode leksikal yang sulit untuk dipahami secara gamblang. Hal ini dikarenakan puisi tipografi ini hanya terdiri dari 3 kata saja yaitu ngung cak dan Klst. Dan ketiga kata tersebut bukan merupakan kata yang memiliki arti, ketiganya hanya ujaran bunyi. Untuk membantu memahami kode-kode leksikal maka dijabarkan sebagai berikut :
(1)
ngung berarti tiruan bunyi sesuatu yang berdengung. Dalam puisi ngung cak
terdapat 2 ngung yang berbeda, “ngung” dan “Ngung” dalam penulisan EYD Bahasa
Indonesia huruf capital diawal kata berfungsi sebagai ungkapan yang berhubungan
dengan nama Tuhan dan kitab suci. Selain itu juga sering digunakan sebagai nama
gelar kehormatan, keturunan dan keagamaan yang diikuti nama orang.
(2)
cak didalam kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga Balai Pustaka disebutkan bahwa
cak berarti tiruan bunyi mengecap makanan, ukuran sebesar lengkungan ujung jari
kedua belah tangan dan cak juga berarti tarian yang berlatar cerita Ramayana,
dilakukan oleh puluhan orang laki-laki bertelanjang dada yang berperan sebagai
pasukan kera yang menyuarakan bunyi “cak”, “cak” sepanjang pertunjukan kecak.
Cak pada puisi ngung cak ini menggunakan kode leksikal ketiga yaitu cak pada
tari kecak yang merupakan symbol kebaktian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Cak yang berulang-ulang dalam puisi merupakan makna dan perulangan bunyi yang
ada di tari Kecak.
(3)
Klst tidak ditemukan arti kata dalam kamus.
Jika ditinjau dari segi prakmatiknya ada
sesuatu makna yang ingin disampaikan dalam tiga kata yang dirangkai. Sebagai
pengapresiasi atau pembaca awal puisi tersebut, maka dengan segera akan timbul
pemikiran bahwa puisi tersebut serupa dengan tari Kecak. Dalam hal ini maka
pengapresiasi menarik kesimpulan bahwa pilihan kata cak Danarto dimaksudkan
sama dengan makna pengucapan “cak cak” tari Kecak yang digunakan sebagai tari
ritual persembahan kepada Tuhan. Hal ini juga dapat dilihat dari susunan penari
yang melingkari satu pusat sambil memujanya.
Sedangkan ngung adalah bunyi berdengung yang bisa diapresiasikan sebagai doa yuang dipanjatkan kepada Tuhan. Ngung yang berdengung karena suara yang berulang-ulang dan dalam waktu yang tidak singkat sama seperti setelah menyaksikan pementasan tari Kecak, maka di telinga akan masih berdengung. Dapat pula diimplementasikan ketika manusia tak henti berdoa dan doa itu sampai kepada Tuhan. Danarto membuat makna Tuhan dengan kode di bait 1, dengan hanya menuliskan satu kata “Ng” bertanda Tuhan itu hanya satu.
Klst merupakan kata yang belum diketahui makna sebenarnya ataupun maksud Danarto memilih empat huruf yang dirangkai, dan dua huruf diantaranya saling berdekatan sesuai abjad. Dalam puisi pengapresiasi memaknainya sebagai manusia (dilihat dari bagian tipografi yang berada di bawah) dan mengingat juga bahwa puisi ini tentang hubungan manusia selalu berada di bawah kekuasaan Tuhan.
Sedangkan ngung adalah bunyi berdengung yang bisa diapresiasikan sebagai doa yuang dipanjatkan kepada Tuhan. Ngung yang berdengung karena suara yang berulang-ulang dan dalam waktu yang tidak singkat sama seperti setelah menyaksikan pementasan tari Kecak, maka di telinga akan masih berdengung. Dapat pula diimplementasikan ketika manusia tak henti berdoa dan doa itu sampai kepada Tuhan. Danarto membuat makna Tuhan dengan kode di bait 1, dengan hanya menuliskan satu kata “Ng” bertanda Tuhan itu hanya satu.
Klst merupakan kata yang belum diketahui makna sebenarnya ataupun maksud Danarto memilih empat huruf yang dirangkai, dan dua huruf diantaranya saling berdekatan sesuai abjad. Dalam puisi pengapresiasi memaknainya sebagai manusia (dilihat dari bagian tipografi yang berada di bawah) dan mengingat juga bahwa puisi ini tentang hubungan manusia selalu berada di bawah kekuasaan Tuhan.
Bentuk
puisi yang dibuat Danarto menyerupai layang-layang putus tidak dibuat begitu
saja tanpa maksud. Danarto ingin menyampaikannya dalam bentuk sedemikian rupa
untuk lebih menciptakan makna dan suasana tertentu.
Puisi Ngung Cak terdiri dari rima
sempurna yang pengulangan bunyi terjadi apabila bunyi vocal, diftong, dan
konsonan yang mengikutinya memiliki kesamaan bunyi atau seluruh suku akhirannya
sama bunyinya. Rima sempurna juga bisa dikatakan rima penuh. “Ngung ngung
ngung”, “cak cak”, “Klst” vokal, diftong dan konsonan sama persis setiap
lariknya.
Penulisan tipografi, pada puisi Ngung Cak karya Danarto ini memang lebih ditekankan pada bentuk pemilihan kode leksikal dan bentuk tipografinya, sehingga dengan terdapat tiga kata “ngung”, “cak” dan “klst”, maka tidak ditemukan majas, citraan, dan hal-hal yang berkaitan dengan pemaknaan secara tersurat.
Penulisan tipografi, pada puisi Ngung Cak karya Danarto ini memang lebih ditekankan pada bentuk pemilihan kode leksikal dan bentuk tipografinya, sehingga dengan terdapat tiga kata “ngung”, “cak” dan “klst”, maka tidak ditemukan majas, citraan, dan hal-hal yang berkaitan dengan pemaknaan secara tersurat.
2. TEORI
STRATA NORMA
KAJIAN TEORI
Puisi
itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman ( Wellek, 1968: 150).
Analisis puisi berdasarkan fenomenologis terdiri dari beberapa strata (lapis)
norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Rene wellek
(1968:151) mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsusf Polandia, di
dalam bukunya “Das Literarische Kunstwerk (1931)
ia menganalisis norma-norma diantaranya lapis bunyi, lapis arti, lapis
dunia imaji pengarang, lapis dunia yang dilihat dari sudut pandang tertentu yang implisit, dan lapis metafisika.
a. Lapis
Bunyi
Lapis
bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi
bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan
efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang
berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain
bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya.
Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan
(utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang
simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana
menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan
tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Lapis bunyi terbagi atas Gaya ulangan bunyi, gaya kiasan bunyi, orkestrasi
bunyi, dan irama.
Analisis
Lapis bunyi pada puisi “Kepada Sesosok Lelaki yang Berjalan Melintasi Senja
dengan Beaumount Tua” :
Kepada
Sesosok Lelaki yang Berjalan Melintasi Senja dengan Beaumount Tua
Karya
: Agus Hernawan
di
bawah langit senja yang sesaat lagi lenyap, sesosok lelaki
dengan
misai tak rapi, ia yang dimasa kecilnya cuma sekali
jadi
serdadu, berkawan senapang dari pelepah pisang
yang
dikeraskan
kini
berjalan melintasi senja dengan beaumont tua. hari yang lusuh
dan
wajahnya bergetar seperti berkisah tentang hari hari
yang
penuh singgah, setelah azan berkelebat, menuruni
tangga
tangga langgar dan menyeberangi
bentangan
rawa rawa, batas dunia sebelum kesedihan itu tiba
tiba
dari seberang. membuat tahun tahun terbujur seperti sesosok
tubuh
perempuan yang begitu kau kenal terbujur di atas ranjang
dengan
darah yang mengalir dari selangkangan
sesosok
lelaki dengan misai tak rapi, masa silam yang terbang
kini
tak lagi kau kenali. menjadi rahasia di antara tanah, langit
dan
sorga. pergi. pergi dengan beaumont tua. dengan letih,
dan
kabar dari balik senja yang hilang, dari tumit bukit
tempat
asal bunyi letusan dan darah yang menyusupi tanah
seperti
gelap yang menyusup di malam hari,
meninggalkan
sesosok tubuh yang tak lagi
dikenali,
sesosok lelaki dengan misai tak rapi
yang
kalah yang terkapar di tanah.
2002
Analisis
:
Persajakan
dalam puisi Kepada Sesosok Lelaki yang Berjalan Melintasi Senja dengan
Beaumount Tua ini memang tidak begitu menonjol. Dalam puisi tersebut penyair
lebih memainkan kata untuk menonjolkan makna yang ingin disampaikan.
Puisi yang menggambarkan kematian
tragis seorang laki-laki memiliki kombinasi bunyi konsonan k, p, s, t yang
dominan menjadikan puisi tersebut memiliki suasanau yang kacau balau, sedih dan
tidak menyenangkan, seperti : Meninggalkan sesosok tubuh yang tak lagi dikenali, sesosok lelaki dengan misai tak rapi yang kalah yang terkapar di tanah.
b.
Lapis Arti
Setiap
diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh
penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah
satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impresi
tertentu pada pembacanya.
Lapis
arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan
sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo,
2002: 17). Lapis arti terbagi dalam kosakata, citraan, dan sarana retorika.
Dengan menggunakan lapis ini arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan
keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya yaitu berupa
latar, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita
atau lukisan.
Analisis
Lapis Arti pada puisi “Doa Orang Lapar :
Puisi Doa orang lapar
Karya WS Rendra
Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu
Ws Rendra
Dari Kumpulan Puisi “Sajak – Sajak Sepatu Tua” ( Pustaka Jaya – 1995 )
Dari Kumpulan Puisi “Sajak – Sajak Sepatu Tua” ( Pustaka Jaya – 1995 )
Lapis arti pada puisi di atas dapat
dilihat sebagai berikut:
Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
Maksudnya
yaitu panyair mengatakan bahwa kelaparan di ibaratkan bagaikan burung gagak
yang bersifat licik dan hitam.
Jutaan burung-burung gagak:banyaknya terjadi kelaparan
Bagai awan hitam:kumpulan hal-hal yang jelek,kelam,dan suram
Pengulangan kata Allah dapat berarti
tentang permohonan atau pengaduan penyair kepada tuhannya.
burung gagak menakutkan:gagak identik dengan hewan yang
menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak:kelaparan disamakan dengan burung gagak
kelaparan adalah pemberontakan:kelaparan membuat orang memberontak
adalah penggerak gaib:dengan tidak sengaja
dan kelaparan adalah burung gagak:kelaparan disamakan dengan burung gagak
kelaparan adalah pemberontakan:kelaparan membuat orang memberontak
adalah penggerak gaib:dengan tidak sengaja
dari pisau-pisau pembunuhan:mampu membunuh dengan benda-benda
tajam sesama manusia karena kelaparan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang
miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
batu
karang identik dengan makhluk yang menipu.Secara diam dia dapat melumpuhkan
mangsanya,begitu juga dengan orang miskin yang kelaparan dengan diamnya mereka
mampu membunuh sesamanya agar mendapat makanan.
Seorang pemuda yang gagah akan menangis
tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
Maksudnya
penyair menggambarkan penyesalan seorang pemuda yang telah terayu dengan iblis
untuk melakukan kejahatan karena kelaparannya
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
Maksudnya kelaparan membuat
seseorang berbuat sesuatu yang keji dengan tangan mereka.
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
Maksudnya
penyair mengatakan bahwa kata-kata di atas adalah doa atau pengaduan kepada
Allah dari orang miskin(kami)
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu
Maksudnya
kelaparan menjadikan seseorang mirip dengan burung gagakdengan sifat yang keji
sehingga menjadi cobaan setiap insan untuk dekat kepada Allah.
c.
Lapis Dunia Imajinasi Pengarang
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang
dikemukakan,latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah
ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Dalam lapis
dunia pengarang puisi yang di kaji di alih bentuk menjadi prosa yang lebih
mudah untuk pembaca pahami.
Penjabaran
puisi di ambil dari awal bait sampai akhir bait tanpa mengubah isinya. Wujud
dari lapis ketiga ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar,
pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18).
Analisis
puisi Tuhan, aku cinta padamu berdasarkan Teori Strata Norma yaitu pada Analisis
Lapis Dunia Imajinasi Pengarang :
Tuhan,aku cinta
padamu
Karya WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
Lapis
yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang
yang berupa cerita atau lukisan.
Aku:Aku
di sini adalah penulis ataupun penyair.
Latar:Kehidupan
penyair saat puisi ini dibuat.
Penyair
menggambarkan kehidupannya pada saat puisi ini ditulis,Ia ingin kembali ke
jalan allah.
Latar tempat:jalan alam
Latar tempat:jalan alam
d. Lapis
Dunia Dilihat dari Sudut Pandang Tertentu
yang Implisit
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang
tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18-19).
Analisis puisi berdasarkan Lapis
Dunia Dilihat dari Sudut Pandang Tertentu
yang Implisit :
Episode
Karya WS Rendra
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
Dilihat dari sudut pandang tertentu,pada baris pertama hingga baris ke
tujuh menggambarkan suasana alam yang sejuk dengan berada di bawah pohon jambu
yang lebat duduk sepasang sejoli dan melihat daun yang berguguran.Pada baris
delapan hingga akhir suasana menjadi bahagia dengan kata Aku hanya
tertawa. melambangkan kebahagiaan yang sedang dirasakan.Lalu
pasangan kekasaih (lelaki) mengusap rambut pasangannya dari guguran bunga
jambu.
e.
Lapis Metafisis
Terakhir
dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini
disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat
Djoko Pradopo, 2002; 19). Lapis metafisis berupa sifat-sifat metafisis seperti,
tragis, mengerikan, atau menakutkan. Akan tetapi, tidak setiap karya sastra
dalamnya terdapat lapis metafisika seperti itu.
Ketika
menganalisis puisi, ada tiga cara yang bisa dilakukan yaitu: secara semiotik,
stilistika, dan analisis fenomenologis. Dalam menganalisi puisi Soni Farid Maulana yang berjudul Kisah Sebelum Tidur dapat di
gunakan adalah analisis fenomenologis (strata norma) yang terdiri dari lima
lapis yaitu: lapis bunyi, lapis arti, lapis
dunia imajinasi pengarang, lapis dunia dilihat dari sudut pandang
tertentu yang implisit dan lapis metafisika.
Analisis
Lapis Metafisika pada puisi “Gadis Peminta-minta” :
Gadis Peminta-minta
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Penyair menceritakan bahwa ia sangat iba dan sangat sedih melihat kenyataan yang telah dialami oleh gadis-gadis kecil itu. Tapi kesedihannya tak dapat tersampaikan kepada mereka. Dan penyair pun mengingatkan kepada kita bahwa kemanusiaan gadis peminta-minta itu derajatnya sama dengan kemanusiaan kita.
Contoh :
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral.
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Penyair menceritakan bahwa ia sangat iba dan sangat sedih melihat kenyataan yang telah dialami oleh gadis-gadis kecil itu. Tapi kesedihannya tak dapat tersampaikan kepada mereka. Dan penyair pun mengingatkan kepada kita bahwa kemanusiaan gadis peminta-minta itu derajatnya sama dengan kemanusiaan kita.
Contoh :
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral.
3.
SEMIOTIKA
RIFFATERE
Teori Semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam
lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai
sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi
tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam
cara (modus) agar wacana mempunyai makna (Preminger dalam Pradopo, 2007: 119).
Untuk dapat memberi makna secara
semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan
hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan
sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang
terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre
(1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara
linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua
untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih
memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya
tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Hermeneutika adalah teori tentang
bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010
151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang
lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa
(2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada
ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo
(2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan
konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini,
pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya
pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat
memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan
hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah
satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur
kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara
struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya,
pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan
kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada
interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks
(Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam
Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak
gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat
ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu
menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan
hipogram dalam teks.
Analisis kajian semiotik dengan pembacaan heuristik pada puisi “Tamu”
TAMU
Karya
Subagio Sastrowardoyo
Lelaki yang
mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
Pembacaan
heuristik pada puisi “Tamu” adalah sebagai berikut:
(1)“Lelaki yang mengetuk pintu pagi
hari sudah duduk di ruang tamu”.
Lelaki yang mengetuk pintu,
berarti seorang laki-laki yang bertamu dengan
mengetuk pintu. Pagi hari menunjukkan waktu tamu
itu datang. Sudah duduk di ruang tamu berarti tamu tersebut sudah masuk rumah
dan duduk di ruang tamu.
(2)“Aku baru bangun”
Kalimat itu
menunjukkan bahwa tokoh “aku” baru bangun tidur karena hari waktu itu masih
pagi.
(3)“Tapi rupanya ia tidak merasa
tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”.
Kata-kata yang
diucapkan tuan rumah itu menandakan bahwa dari gelagatnya tamu itu tidak merasa
tersinggung ketika tuan rumah menemuinya dalam keadaan belum mandi. Dalam norma
masyarakat, menemui tamu dalam keadaan belum mandi adalah hal yang tidak sopan
dan dianggap tidak menghormati tamu.
(4)“Rambutku masih kusut dan pakaianku
hanya baju kumal dan sarung lusuh”
Tuan rumah
seperti menyampikan alasan bahwa ia belum siap kedatangan tamu. Keadaan tuan rumah
digambarkan baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi terlihat rambutnya
kusut dan masih memakai pakaian tidurnya yaitu baju kumal dan sarung lusuh.
(5)“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya.
Si tamu
mengatakan bahwa ia akan menjemput tuan rumah seolah-olah tuan rumah sudah
mempunyai janji dan mengetahui rencananya, padahal tuan rumah tidak mengetahui
bahwa tamu itu akan datang dan mau menjemputnya.
(6)“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku
ragu.
Tuan rumah
menyatakan bahwa kedatangan tamu tersebut msih terlalu pagi. Tuan rumah tidak
menyangka akan kedatangan tamu di waktu pagi.
(7) “Dia sudah menunggu!”
“Dia sudah
menunggu!” merupakan jawaban dari tamu atas pertanyaan tuan rumah. Jawaban itu
menunjukkan bahwa ada seseorang yang sudah menunggu tuan rumah.
(8) Ia nampak tak sabar dan tak senang
dibantah.
Dari kata-kata
tamu Dia sudah menunggu!, dan dari gelagatnya menunjukkan bahwa si tamu
kelihatan tidak sabar dan tidak senang dibantah. Hal itu merupakan reaksi atas
alasan yang dilontarkan tuan rumah “Bukankah ini terlalu pagi?”
(9) Aku belum tahu siapa yang ia
maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
Ketika tamu
menyatakan Dia sudah menunggu!, tuan rumah merasa bahwa ia belum tahu siapa
“dia” yang dimaksudkan oleh tamu. Tetapi tuan rumah sudah menduga siapa “dia”.
(10) “Tetapi aku perlu waktu untuk
berpisah dengan keluarga. Terlalu kejam untuk meninggalkan mereka begitu saja.
Mereka akan mencari.”
Tuan rumah
menyadari bahwa ia akan pergi dengan tamu untuk bertemu dengan “dia”. Oleh
karena itu, tuan rumah mengatakan bahwa ia perlu waktu untuk berpisah dengan
keluarganya agar keluarganya tidak mencarinya. Tuan rumah merasa dirinya kejam
apabila tidak berpamitan dahulu kepada keluarganya.
(11) Nampaknya tamu itu begitu angkuh
seperti tak mau dikecilkan arti.
Menanggapi
permintaan tuan rumah untuk berpamitan dengan keluarganya dahulu, tamu itu
merasa tidak mau tahu karena mereka harus pergi saat itu juga. Tamu itu
terlihat angkuh dan seakan-akan memaksa tuan rumah utntuk segera pergi
dengannya.
(12) Siapa dapat lolos dari
tuntutannya.
Menyadari sikap
tamu, tuan rumah merasa bahwa ia tidak bisa menolak ajakan tamu untuk pergi
saat itu juga tanpa ia sempat berpamitan kepada keluarganya.
(13) Sebelum aku sempat berbenah diri
ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
Sebelum tuan
rumah sempat untuk bersiap-siap, tamu itu sudah menyeretnya, berarti tamu itu
memaksa tuan rumah untuk pergi dengannya. Tuan rumah diajak tamu ke
kendaraannya dan ia tidak tahu akan di bawa kemana.
(14) ke sorga atau ke neraka?”
Pernyataan
terakhir ini merupakan penutup narasi, kata-kata dari tuan rumah berbentuk
pertanyaan, akan dibawa ia oleh tamu itu. Dibawa ke sorga atau ke neraka.
Analisis kajian semiotik dengan pembacaan hermeneutik pada puisi “Derai-derai cemara” Karya Chairil Anwar
Derai-derai Cemara
Karya Chairil Anwar
Cemara
menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku
sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup
hanya menunda-nunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Derai-derai
cemara yang dipakai pengarang untuk judul sajak merupakan gambaran dari
daun-daun cemara yang berguguran yang mempunyai makna tentang runtuhnya harapan
tokoh sajak. Diawal kalimat menceritakan tentang cemara, cemara merupakan suatu
jenis pepohonan dengan daun yang kecil dan meruncing. Digambarkan dengan
suasana sore hari (hampir malam) dan beberapa dahan merapuh diterjang oleh
angin malam. Merupakan penggambaran diri manusia yang mulai merapuh, dan
suasana yang hamper malam menggambarkan tengtang kesadaran tentang perjalanan
hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.
Bait
kedua menggambarkan kedewasaan tokoh aku, yang digambarkan dari kalimat sudah
berapa waktu aku bukan kanak lagi. Penggambaran tentang pandangan si tokkoh
aku yang terjadi saat dia masih kanak dan tpandangan itu tidak relevan lagi
ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya.
Bait
ketiga merupakan penggambaran si tokoh aku tentang sebuah keterasingan. Kata
jauh menggambarkan tentang cita-cita si tokoh aku yang cemerlang, akan tetapi
pada kenyataannya hidup selalu penuh penderitaan dan jauh dari apa yang
diharapkan oleh si tokoh aku. Kalimat Hidup hanya menunda-nunda kekalahan
merupakan sebuah penggambaran tentang keputusasaan tokoh, semacam kesimpulan
yang diutarakan dengan sikap mengendap, yang sepenuhnya menerima proses
perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari masa lalunya.
DAFTAR
PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko.
2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar
Sastra. Bandung:Angkasa.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
http://asupriatna.wordpress.com/2008/09/08/kajian-apresiasi-puisi-1.Diakses
pada tanggal 10 Juni 2012.
http://esaquarius.blogspot.com/2011/05/puisi-dengan-pendekatan-strata- norma_4120.html.Diakses
pada tanggal 10 Juni 2012.
http://gebyarbahasa.blogspot.com/2012/04/strata-norma-puisi.html.
Diakses pada tanggal 10 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar