Jumat, 08 Maret 2013

Makalah analisis novel "Para Priyayi" dengan berbagai pendekatan


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Apresiasi prosa itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seohjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu.Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu. Untuk menganalisias karya prosa kita haruslah bisa “membongkar” dan menerangkan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif.
Dalam mengapresiasi karya prosa digunakan beberapa pendekatan dalam, yaitu:
o Pendekatan emotif,
o Pendekatan analitis,
o Pendekatan historis,
o Pendekatan sosiopsikologis, dan
o Pendekatan didaktis.
Jika mengacu pada studi teori sastra ada empat pendekatan
o   Sastra dan masyarakat
o   Sastra dan biografi
o   Sastra dan psikologi
o   Sastra dan pemikiran

B.     Rumusan Masalah

Bagaimana analisis novel Para Priyayi degan berbagai macam pendekatan
Emotif, analitis, sosiopsikologi, didaktis, biografi, masyarakat dan pemikiran?

C.    Tujuan

Untuk memahami, menghayati dan menilai sebagai bentuk apresiasi novel Para Priyayi

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Analisis Novel Para Priyayi dengan Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca.Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasanyang lucu dan menarik.
Prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat pembaca untuk menikmati sehingga mampu menemukan unsure-unsur keindahan maupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan masalah gaya bahasa seperti metaphor, simile, maupun penataan setting yang mampu menghasilkan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang lucu dan menarik sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kepada pembaca.
Di sini kelompok kami akan menyampaikan mengenai keindahan bahasa dalam novel Para Priyayi. berikut ini adalah uraian mengenai keindahan bahasa dalam novel Para Priyayi.
Terdapat bahasa yang mengesankan (memoriable) dengan memanfaatkan sumber ungkapan bernilai budaya yaitu ketika Sastrodarsono meminta Lantip untuk menyanyikan bait pertama lagu pucung dari serat wedhatama. Di dalam dialog tersebut, Sastrodarsono selain menyuruh Lantip untuk menyanyikan bait pertama lagu pucung dari serat wedhatama, Sastrodarsono juga menyuruh Lantip menyambung dengan bait pertama lagu kinanti dari serat Wulangreh. Tembang yang ditembangkan oleh Lantip tersebut mempunyai makna bahasa bernilai budaya yang dalam.Hal tersebut dapat diketahui dari perkataan Sastrodarsonoberikut.“Pilihan bait-bait itu daya rasa erat hubungannya dengan suasana gawat sekarang”. Dua bait dari wedhatama dan wulangreh ini saling isi-mengisi. Bait lagu pucung dari  wedhatama ini member tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. Sastrodarsono menggunakan tembang Jawa tersebut untuk menyampaikan pesan kepada anak-anaknya tentang keadaan yang sedang terjadi. Terdapat juga bahasa yang mengesankan seperti pada halaman 123 “mikul duwur mendhem jero”, yang mempunyai arti menjunjung tinggi-tinggi keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib keluarga. Bahasa mengesankan yang lain adalah adalah pesan yang disampaikan Sastrodarsono ketikaa pohon nangka di Wanagalih jatuh, yaitu “pamrih ing gawe rame ing pandum” yang berarti bekerja tanpa mengharap imbalan setelah mendapatkan hasil dapat dibagi atau dirasakan bersama.
Dalam novel ini juga ditemui penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia. Salah satunya adalah bahaa Belanda, missal “Hoe gaat ‘t met U, Meneer Hardojo?”(apa kabar Meneer Hardojo?). Bahasa Jepang juga dapat dijumpai dalam novel ini, missal “Chudancho, desuka, dan lain-lain.Namun bahasa yang paling sering digunakan adalah bahsa Jawa yang merupakan latar belakang dari kehidupan berkomunikasi para masyarakat dalam novel tersebut.Contoh penggunaan bahasa Jawa adalah sebagai berikut. “Le, embah wong cilik ngger, dan lain-lain.
1.      Analisis Novel Para Priyayi Dengan Pendekatan Sosiopsikologi
Sosiologi dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda.Sosiologi adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan kenyataan sosial sebagai objek formal.Dalam perspektif sosiologi, kenyataan sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra.
Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya.Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya. Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat.
Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya.Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya.Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang.Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.  Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan.Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan orang-orang Jawa pada umumnya.
Para tokoh dalam novel ini dilahirkan dari latar tempat, social dan waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu.Bahkan Umar Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel.Tokoh dalam novel yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat kental terutama dalam dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa.  Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko (kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara umurnya, biasanya pakai ngoko. Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi).Misalnya tokoh Sastrodarsono yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang pertani desa Kedungsiwo.Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga beragama Islam.Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti Aisyah atau Dik Ngaisah.Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho, Hardojo, dan Soemini.Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga besar priyayi.
Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di saat memilih menantu mereka lebih memberatkan    pada calon menantu    yang memiliki  status     priyayi. Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak.Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip berpidato pada pemakaman eyangnya.Lantip dalam pidatonya memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Melalui novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.

2.      Analisis Novel Para Priyayi Menggunakan Pendekatan Analitis
Struktur Novel Para Priyayi
1.    Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema.Tema sendiri merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca.
Tema yang diangkat dalam novel Para priyayi mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya.Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono.Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priayi yang berasal dari seorang petani.Kepriayian Sastrodarsono berusaha diturunkan kepada anak-anaknya.Sastrodarsono dan Ngaisah berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi priayi-priayi modern yang berhasil.Akan tetapi, anak-anak Sastrodarsono juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan dalam keluarga mereka masingmasing.Lantip, anak hasil hubungan di luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil sebagai pahlawan.Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu Sastrodarsono dan menjadi priayi yang sebenarnya.
2.    Alur
Novel ini sendiri terdiri dari beberapa episode, diantaranya yaitu tentang : Wanagalih, Lantip,Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri, Lantip, Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dan yang lain mempunyai hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode Lantip. Lantip merupakan penghubung antara episode yang satu dan yang lain. Dengan adanya pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan untuk menuturkan dirinya sendiri bahkan menilai tokoh lain. Berdasarkan urutan waktu, secara umum alur novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur.Oleh karena setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara jelas.
Berikut ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara keseluruhan:
a.    Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini dilukiskan mengenai latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih.Tahap penyituasian ini diceritakan oleh tokoh Lantip.Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah
kandungnya.
Ayah saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk mencari duit (Para Priyayi, 2001: 10).
Baru setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling.
b. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriayiaannya. Sastrodarsono mulai menemukan gaya kepriayiannya dan berhadapan dengan model pemikiran priayi lain. Hal ini terjadi ketika Sastrodarsono ditunjuk untuk menggatikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah desa Karangdompol. Dalam benaknya
Pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati! Dan alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung air mata saya berlelehan (Para Priyayi, 2001:202-203). Dengan kejadian tersebut, membuat Noegroho dan Sus terlalu memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni.Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak permasalahan.

c. Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato.Sastrodarsono dianggap tidak menghormati Jepang karena tidak mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa.Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja. Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan
Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya.Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di kursi goyang.”Darusono, jerek, busuk.Genjimin bogero!”Sehabis mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa
mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung pucat pasi, nglokro, lesu.Air matanya berlelehan keluar.Beliau menangis seperti anak kecil (Para Priyayi, 2001: 129).
Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan.Kejadian ini sangat mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono.Terlebih lagi, ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama Marie yang juga belum mengetahui
permasalahan ini. “Heeh?!Maridjan sudah punya istri dan anak?Asu, bajingan tengik Maridjan!”Bude Sus hampir pingsan mendengar laporan saya.Pakde Noegroho merah padam mukanya.Sedang Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang entah ke mana.Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut gelisah tidak menentu (Para Priyayi, 2001: 248).
Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia.Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono.Sebelum meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini, dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam mendidik anak-anaknya.Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya.Kepergian Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono.
d. Tahap Klimaks (Climax)
Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara.Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang bolong.”Oh, Allah, Lee.Sudah nasibmu, Ngeer. Istrimu, Naak, istrimu sudah tidak ada....”Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis, tidak bisa apa-apa.Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya.Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan perempuan (Para Priyayi, 2001: 299).

e. Tahap Penyelesaian (Denouement)
Pada tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian (fallingaction) dan penyelesaian (denouement).Tahap peleraian, dapat dilihat ketika Sastrodarsono (Embah Kakung) sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.Alur ini merupakan penurunan dari keseluruhan cerita karena semua persoalan telah selesai.Sastrodarsono sebagai tokoh utama dalam cerita ini diceritakan hampir menghadap Tuhan karena sakit-sakitan.Sementara itu, tahap penyelesaian, yaitu dengan meninggalnya tokoh Sastrodarsono. Suatu cara mengakhiri cerita yang cukup baik dengan mematikan tokoh utamanya walaupun cerita masih dapat berlanjut dengan diganti tokoh yang lain dan tentunya dengan cerita yang lain. Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering menceracau juga.Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah Kakung (Para Priyayi, 2001:301).
Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur longgar.Tergolong alur longgar disebabkan peristiwa-peristiwa dalam cerita seolah-olah berdiri sendiri.Hal ini dapat dilihat dengan terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini memiliki banyak pelaku. Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa, Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan berhasil masuk jenjang priayi.Cerita tersebut memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat dan masuk akal.Akan tetapi, mungkin hanya orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga priayi yang mumpuni.Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis dari penjara.Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh keluarganya.Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending.Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.
3.    Penokohan
Dalam novel Para Priyayi sendiri memiliki banyak tokoh.Berikut penokohan para tokoh dalam novel ini.
a)    Lantip
Tokoh Lantip digambarkan sebagai tokoh yang rajin, taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ketika itu Lantip masih kecil dan baru saja ikut Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. “Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah (Para Priyayi, 2001: 19). Apalagi apabila dia menyaksikan sendiri akan keprigelan saya
mengerjakan tugas-tugas di rumah Setenan itu. “Wah, sokur to, Le, kamu sudah bisa cak-cek pegang apa-apa,” kata Embok (Para Priyayi, 2001:19).Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar.Ketika masuk sekolah pertama kali, Lantip diganggu teman-temannya. Teman-temannya
berusaha membuat Lantip marah, tetapi ia selalu ingat pesan emboknya bahwa jangan mudah tersinggung dengan omongan bahkan ejekan teman. Pesan emboknya itu begitu kuat sehingga menjadi rem yang sangat manjur dalam tubuh Lantip.Berapa kali sudah saya kena coba kawan-kawan yang seperti biasanya selalu ingin menjajaki kekuatan anak-anak baru.Tidak pernah saya ladeni. (Para Priyayi, 2001: 22).
Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh keluarga besar Sastrodarsono dan suka menolong.Sikap Lantip ini digambarkan secara dramatik.Ngaisah memberikan pandangannya mengenai Lantip yang selalu dapat diandalkan keluarganya.Setiap kali saya ingat anak ini tidak habisnya saya mengucap syukur.Gusti Allah Maha Adil.Anak jadah ini tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti kepada semua keluarga kami (Para Priyayi, 2001: 233).
b)    Sastrodarsono
Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat ketika ia diberi nama tua. Dalam keluarga Jawa nama dibedakan menjadi dua, yaitu nama ketika masih anak-anak dan nama tua. Sastrodarsono menerima dengan kepatuhan ketika namanya yang Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan. “Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to, Le?”Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan. “Inggih, Pak.” (Para Priyayi, 2001:35).
c)    Siti Aisah/Dik Ngaisah
Ngaisah adalah istri yang selalu setia kepada suaminya.Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang kebaktiannya yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia tidak pernah mengubah sikap terhadap suaminya.
Orang jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa.Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang satu lagi? (Para Priyayi, 2001: 207).
d)    Noegroho
Noegroho juga memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas.Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah Noegroho ditunjukkan ketika ia mengetahui bahwa Lantip diangkat anak
oleh Hardojo.
“Iya, iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya, Marie dan Tommi, ikhlaskan kamas-mu pergi” (Para Priyayi, 2001: 204).
… kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak ikhlas, Le (Para Priyayi, 2001: 205).
Tapi, mau bagaimana lagi. Lantip sudah diambil anak oleh Hardojo dan Hardojo sudah minta wanti-wanti kepada kami semua agar Lantip kita perlakukan sama dengan anak-anak kami. Dan juga Bapak dan Ibu sudah ikut merestui juga (Para Priyayi, 2001: 184).Noegroho sangat bertanggung jawab terhadap keluarga besarnya. Sikap ini tampak ketika ia berusaha membebaskan Harimurti dan Gadis dari penjara saat terlibat masalah G 30 S/PKI. Baginya, 
keturunan keluarga besar adalah suatu kewajiban. “Hari, anakku.Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang pakde daripada dapat menolong kemenakannya.Ini kewajiban trah, kewajiban keturunan keluarga besar, Le” (Para Priyayi, 2001: 285).
e)    Hardojo
Hardojo adalah orang yang cerdas.Keberhasilannya dalam meniti karier tidak terlepas dari modal kualitas tokoh tersebut. Akan tetapi, ketika ia memilih jodoh membuat seluruh anggota keluarga repot. Hardojo jatuh cinta dengan seorang gadis yang berasal dari Solo bernama Nunuk, gadis itu beragama Katolik.Keduanya saling mencintai, tetapi karena perbedaan keyakinan akhirnya mereka berdua berpisah.
HARDOJO, anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya yang paling cerdas dan mungkin paling disenangi orang.Soemini sangat sayang kepadanya.Noegroho, yang cenderung paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat dengan adiknya itu, dan kami orangtuanya selalu bisa dibikin menuruti kemauannya.Begitu jatmika, menarik dan micara, tangkas dengan kata-kata anak itu. Tetapi, kenapa justru pada saat dia harus memilih jodoh dia selalu membuat repot seisi rumah (ParaPriyayi, 2001: 93).
f)    Harimurti
Harimurti sangat sayang dengan orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya kejujuran dan ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan.
Saya diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan orang tua saya.Jelas kami sudah berbeda pandangan. Dan perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang terpenting adalah gaya penampilan karena itu dipandang sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak.Bagi saya kejujuran dan ketulusan lebih penting.Gaya penampilan dapat dikembangkan sambil berjalan (Para Priyayi, 2001: 268).

4.    Latar
latar novel Para Priyayi terdiri dari tiga unsur, tempat, waktu dan social. Hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini:
a)    Latar Tempat
Novel ini mempunyai banyak latar tempat, dikarenakan adanya pembagian episode dalam novel ini.
    Wanagalih
Wanagalih merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah.Tempat ini merupakan pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono.Hal ini dapat dilihat dari petikan di bawah ini.
“Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang didukung oleh mertua saya Romo Mukaram (Para Priyayi, 2001: 47)” dan satu lagi petikan yang ada “Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah induk keluarga kami di Jalan Setenan,(Para Priyayi, 2001: 181)”.
Wonogiri
Wonogiri sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo.Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun.Beliau  juga mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu cuplikannya.
“Saya hanya sempat mengajar di HIS Wonogiri selama dua tahun (Para Priyayi, 2001: 149)”.
    Solo
Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran.Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia datangi.
“Begitulah keputusan itu telah saya buat.Saya pindah bekerja ke Mangkunegaran.Saya diberi waktu hingga akhir tahun pelajaran (ParaPriyayi, 2001: 159)”.
Yogyakarta
Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang memihak Belanda.
“Kami pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang.Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu (Para Priyayi, 2001: 189)”.
 Jakarta
Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho.Ketika keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta.
b)    Latar Waktu
Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal Kemerdekaan hingga pemberontakan PKI.Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priayi.Pada masa ini adalah masa penjajahan Belanda.Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak Sastrodarsono.Noegroho menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri asisten wedana.Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun keluarga priayi dapat dikatakan berhasil.
Untuk mengupas hal tersebut dapat dilihat petikan yang ada sebagai berikut:
“Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya (Para Priyayi, 2001: 33)”.Hal ini adalah awal dari cerita dalam novel ini, selanjutnya setelah Jepang kalah perang “Tahu-tahu Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan dan dilucuti senjata kami (Para Priyayi, 2001: 189)”.
“GADIS, mau mentraktir saya malam itu.Hari itu, saya ingat benar, adalah tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan (Para Priyayi, 2001: 261)”.
c)    Latar Sosial
Latar sosial dalam novel ini adalah gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur.Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur.Kebudayaan Jawa yang ditampilkan dalam novel ini begitu halus dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya.Selain itu, kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan dalam novel ini.Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini juga diceritakan mengenai kebudayaan di Surakarta.
5.    Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang Pertama.Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya.Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita.Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, dan seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.

3.      Analisis novel para priyayi menggunakan pendekatan didaktis
Pendekatan didaktis adalah pendekatan yang berusahaa menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluative maupun sikap pengarang terhadaap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai moral yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Nilai sosial:
Dalam novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas antara golongan priyayi dan masyarakat biasa,dimana seolah priyayi itu adalah cerminan tokoh putih dalam suatu cerita sangat dihormati dan dipercayai secara berlebihan.
Nilai religius:
Keluarga Sudarsono yang menentang kedua anaknya menikah dengan pacarnya dikarenakan perbedaan agama.
Nilai budaya:1)Budaya menikah muda bagi perempuan
            2)Perjodohan
            3)Jodoh harus memiliki status yang sama
            4)Pembantu(lantip)duduk dibawah
Nilai moral:1)Marie(cucu)hamil diluar nikah
            2)Hari menghamili gadis(pacarnya)
            3)Selingkuh dengan penyanyi dangdut
5. Analisis Novel Para Priyayi Menggunakan Pendekatan Biografi
Biografi Umar Kayam
UMAR KAYAM adalah sastrawan yang sosiolog, atau sosiolog yang sastrawan. Ayah Umar Kayam adalah seorang guruHollands Inlands School(HIS) .Lahir 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Menempuhpendidikan di HIS Mangkunegoro Surakarta, di mana ayahnya juga mengajardi sana. Di sekolah tersebut dia berteman akrab dengan Kliwir panggilanakrab Wiratmo Sukito, salah seorang tokoh MANIKEBU Gelanggang Tahun60-an. Setelah itu, dia melanjutkan sekolah di MULO (setingkat dengan SMP),dan melanjutkan SMA bagian bahasa (bagian A) di Yogyakarta. Lulus dariSMA tahun 1951, Umar Kayam atau biasa dipanggil UK melanjutkanpendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.Pada tahun 1955 UK melanjutkan studinya keUniversity School of Education,USA (1963). Setelah mendapatkan gelar Master of Education di Univerasitasini, UK melanjutkan program doktoralnya keCornell University,USA (1965)dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental Coordination Problems inIndonesian Community Development ”.Semasa kecil, UK sudah akrab sekali dengan dunia membaca. Saat masihduduk di sekolah setingkat SD, UK terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng,dan pelajaran-pelajaran yang terkait cerita dalam bahasa Belanda. Saatduduk di MULO—setingkat dengan SMP—UK sudah akrab sekali dengan Gonewith the Wind serta novel-novel yang lain. Pada saat SMA, beberapa diantara teman-temannya saat itu adalah Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef yang kelak (kedua-duanya) menjadi Menteri Pendidikan. UK mengelola majalah dinding sebagai medan untuk mengeksplorasi karya-karya sastranya. Di tempat ini pula, UK membincangkan karya sastra Tagore,Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Karya-karya yang lain. Cerpen“Bunga Anyelir” merupakan cerpen pertama UK yang dimuat di sebuahmajalah di Jakarta dan itu ditulisnya saat masih duduk dibangku SMA.Saat Mahasiswa, UK aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan tentusaja dunia kesastraan saat itu.Salah satunya, UK adalah perintis“Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang menyajikan berbagaiinformasi kegiatan mahasiswa.Selain itu, UK juga mendirikan majalahminggu dan berbagai kegiatan yang lain, terutama terkait dengankebudayaan.Selanjutnya, saat kuliah di USA, UK juga aktif menulis karya sastra yangdikirimkan ke berbagai media di Indonesia. Hingga kemudian, sepulangnyadi Indonesia, UK ditunjuk sebagai Direktur Jendral Radio, Televisi dan FilmDepartemen Penerangan RI (1966-1969).Pada tahun 1969, UK terpilih untuk menjabat sebagai ketua Dewan KesenianJakarta. Dan pada saat yang bersamaan, UK juga menjabat sebagai RektorLembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (Sekarang IKJ) dan juga menjabatsebagai anggotaBoard of Trustee International Broadcast Institute yangbermarkas di Roma.Selain sebagai seorang sastrawan, UK juga merupakan pemain Film. Tercatat, dia pernah menjadi salah satu pemain dalam Film Karmila yangdisutradarai oleh Ami Priyono.UK juga pernah memerankan sosok BungKarno dalam Film G-30-S/PKI yang disutradarai Arifin C Noor. Berperan sebagai Pak Bei dalam Canting, Senetron yang diangkat dari Novel ArswendoAtmowiloto.Kariernya sebagai akademisi dan iluwan, UK tercatatat pernah menjabatsebagai Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin,Ujung Pandang (1975-1976), Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), Dosen Pasca Sarjana, Jusrusan Sastra Indonesia Universitas SanataDharma, Yogyakarta (1998-2001). Dan pada tahun 1989, dia mendapatpengukuhan sebagai Guru Besar di UGM.UK menikah dengan Rooslina Hanoum dan dikaruniai dua orang putri: SitaAripurnami dan Wulan Anggraini.

6.      Analisis Novel Para Priyayi Menggunakan Pendekatan Masyarakat
Hingga zaman sekarang ini di lingkungan masyarakat pedesaan masih sering ditemukan adanya sekelompok orang yang disebut priyayi.Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat.Semua orang yang duduk dalam jabatan pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi.Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja).Akan tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan (Sartono Kartidirdjo, 1987).
Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik. Namun novel ini juga memiliki beberapa segi negatif yaitu, adanya mentalitas berorientasi kepada atasan, yang hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan sampai merendahan diri, dan mengutamakan kesenangan atasan. Selain itu juga ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti menjunjung tinggi keharuman nama baik orang tua dan menyembunyikan rapi-rapi aib orang tua.
Sebenarnya ajaran moral yang terkandung di dalamnya bagus tetapi, itu akan menjadi buruk bila seorang anak atau bawahan harus selalu mendiamkan atau menutupi keburukan yang dilakukan orang tua atau atasannya. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga dengan sangat jelas menunjukkan adanya mentalitas dari kaum priyayi yang menganggap bahwa dalam mencari rezeki hendaknya secukupnya saja, tidak perlu lebih dari cukup karena akan membuat manusia menjadi serakah. Keburukan mentalitas ini adalah pada upaya pengendoran semangat bekerja.Lebih-lebih pada masa sekarang ketika persaingan bebas telah menjadi jalan untuk hidup umat manusia di seluruh penjuru dunia. Kalau ingin survive dalam hidup harus memiliki keunggulan. Kalau ingin memiliki keunggulan harus berusaha sekuat tenaga melebihi orang lain.  Dari novel ini penulis ingin menunjukan bahwa peranan kaum priyayi yang penting adalah pembangun relasi antar status, agen perubahan, penjaga etika dan pemimpin spiritual.

7.      Analisis Novel Para Priyayi Menggunakan Pendekatan Pemikiran
Dari sudut ektrinsik pembangun karya sastra tidak luput mengupas tuntas mengenai jalan pikiran pengarangnya.Karya sastra dan pemikiran pengarang memiliki hubungan yang sangat erat sekali.Sastra merupakan implementasi atau pun translitasi pemikiran pengarang.Pengarang menuangkan gagasan, ide, imajinasi melaui sebuah tulisan indah karya sastra.Begitu pula yang ada pada novel Para Priyayi.
Dengan bahasa tulis yang baik novel para priyayi cukup menggambarkan  bagaimana pemikiran umar kayam mengenai problema kemasyarakatan yang timbul saat itu. Seakan dalam benak pengarang terpikirkan sebuah rumusan masalah yang kompleks
1.      Golongan priyanyi yang sangat di hormati dan di junjung tinggi apakah selamanya akan sepeti itu?
2.      Bagaimana jika golngan prinyayi yang agung pada akhirnya sangat rusak moralnya?
3.      Lantas siapa yang pantas disebut priyayi?
4.      Apa arti sejati seorang priyayi?
Melalui proses pemikiran yang cukup panjang pengarang membangun cerita dengan berbagai pemaparan cerita. Tingkat intlektual dan pengimajinasian pengarang juga sangat berpengaruh dalam membangun kesatuan cerita yang utuh.
Diceritakan bahwa Sastrodarsono adalah seorang priyanyi yang agung di desa wanagalih.Kipprahnya dalam dunia pendidikan membuatnya masuk dalam golongan para priyayi.Beliau sangat dihormati dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya dengan panggilan Doro Guru Kakung.Begitu pula dengan anak-anaknya, mereka semua tumbuh menjadi priyayi agung dalam kehidupan yang serba kecukupan. Disisi lain Lantip seorang anak kecil miskin tak berbapak hidup serba kekurangan apa adanya. Ia tinggal di desa Wonowalas yang jauh sekali dari pusat kota. Karena hidupnya yang serba kurangan terbentuklah pribadi yang rajin, patuh dan rendah hati.Kebaikan Sastrodarsono membuat Lantip dapan menikmati dunia agung para priyayi, tanpa meninggalkan sikap rendah hatinya. Melalui likuan hidup yang panjang  Sastrodarsono berhasil mendidik anak-anak dan orang yang ikut dengannya dengan baik. Namun seiring perkembangan zaman, keberhasilan Sastrodarsono mendidik anak-anaknya tak bisa diikuti oleh anak-anaknya.Para cucu Sastrodarsono moralnya jatuh mengikuti pergaulan bebas zaman modern.Satu persatu mereka terjerat oleh kemewahan dan kenikmatan dunia hingga lalai akan jati dirinya golongan priyayi yang dihormati masyarakat. Pada akhirnya tak ada satupun anak atupun cucu Sastrdarsono yang mau tinggal dan menetap di desa Wanagalih sebagai seorang priyayi.Mereka merasa telah menodai citra priyayi.Lalu lantip lah yang mewarisi eksistensi priyayi desa Wanagalih.
Eksistensi serang priyayi telah jatuh termakan zaman.Hal itu yang diangkat umar kayam dalam novelnya para priyayi.Golongan priyayi adalah golongan orang berpendidikan yang mengayomi masyarakat, menjadi panutan atau contoh dalam masyarakat.Jika priyayi melanggar tindak asusila bagaimana dengan masyarakatnya?
Oleh karena itu di ceritakan dalam novel para priyayi, keturunan asli sastrodarsono yang merupakan darah murni priyayi tidak mau meneruskan kedudukan bapaknya karena meraka merasa malu dengan kegagalannya menangatur diri sendiri.Mereka menyerahkan kedudukan priyayi agung wanagalih pada lantip karena diantara mereka lantiplah yang mampu membentengi diri sehingga tidak terjerumus pengaruh negatif zaman modern.
Umar kayam mengungkapkan gagasan, pemikiran atau pendapatnya mengenai golongan priyayi melalui novel tersebut.Didalamnya dikemas apik dalam bentuk cerita novel dengan mengimajinasian yang pas. Dengan begitu pembaca dapat menyimpulkan sendiri apa arti priyayi sebenarnya.




BAB III
PENUTUP
Simpulan
Analisis suatu karya sastra dapat menggunakan berbagai macam pendekatan.Pendekatan digunakan untuk memperdalam pemahaman tentang aparesiasi sebuah karya sastra prosa.
Saran
Penghargan terhadap sebuah karya itu penting karena dengan begitu kita akan lebih memahami, menghayati dan menilai sebuah karya sastra prosa secara penuh dan menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar