Jumat, 08 Maret 2013

Analisis Novel Sang Pemimpi “Keindahan Bahasa dalam Novel Sang Pemimpi”


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang beraada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga nampak seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang sangat bagus. Kemudian, untuk menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarang yang akan dituangkan sebuah karya yaitu salah satunya novel tersebut.
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan yang diungkapkan Nurgiyantoro (2002: 272) bahasa dalam seni sastra ini dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra.
Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah aspek dari estetika. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Zulfahnur, 2 dkk (1996: 9), bahwa sastra merupakan karya seni yang berunsur keindahan. Keindahan dalam karya seni sastra dibangun oleh seni kata, dan seni kata atau seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari ekspresi jiwa. Terkait dengan pernyataan tersebut, maka membaca sebuah karya sastra atau buku akan menarik apabila informasi yang diungkapkan penulis disajikan dengan bahasa yang mengandung nilai estetik. Sebuah buku sastra atau bacaan yang mengandung nilai estetik memang dapat membuat pembaca lebih bersemangat dan tertarik untuk membacanya. Apalagi bila penulis menyajikannya dengan gaya bahasa unik dan menarik.
Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur yang menarik dalam sebuah bacaan. Setiap penulis mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya penulisan yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan bahwa, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang ditulisnya. Hal ini selaras dengan pendapat Pratikno (1984: 50) bahwa sifat, tabiat atau watak seseorang itu berbeda-beda.
Sang Pemimpi diterbitkan pertama kali pada Juli 2006. Sejak kemunculan novel Sang Pemimpi mendapatkan tanggapan positif dari penikmat sastra. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi menjadikan novel tersebut masuk dalam jajaran novel psikologi islami pembangun jiwa. Andrea Hirata telah membuat lompatan langkah yang gemilang untuk mengikuti jejak sang legenda Buya Hamka, berkarya dan mempunyai fenomena (Badrut Taman Gafas, 2005). Melalui novel kontemporernya yang diperkaya dengan muatan budaya yang Islami, Andrea Hirata seolah mengulang kesuksesan sang pujangga Buya Hamka yang karya-karyanya popular hingga ke mancanegara seperti “Merantau Ke Deli”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, dan ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Meskipun nilai yang mendasari novel tersebut bersumber dari Islam, berbagai kalangan kaum beragama dan berkepercayaan dapat menerimanya tanpa ada perasaan terancam.
Cerita novel Sang Pemimpi diperoleh dari mengeksplorasi kisah persahabatan dan pendidikan di Indonesia. Ia mengemas novel Sang Pemimpi 3 dengan bahasa yang sederhana imajinatif, namun tetap memperhatikan kualitas isi. Membaca novel Sang Pemimpi membuat pembaca seolah-olah melihat potret nyata kehidupan masyarakat Indonesia. Hal itu seperti tanggapan salah seorang penikmat novel Sang Pemimpi, yaitu Harnowo (editor senior dan penulis buku Mengikat Makna) ia mengatakan bahwa, “kata-kata Andrea berhasil „menyihir‟ jiwaku. Dia dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengolah kata sehingga memesona yang membacanya” (Sang Pemimpi: sampul depan).
Meskipun kisah yang terjadi dalam novel Sang Pemimpi sudah terjadi sangat lama, akan tetapi pada kenyataannya kisah Sang Pemimpi masih ada di zaman sekarang. Banyak pengamat sastra yang memberikan penilaian berkaitan dengan suksesnya novel Sang Pemimpi. Suksesnya novel Sang Pemimpi disebabkan novel tersebut muncul pada saat yang tepat yaitu pada waktu masyarakat khususnya masyarakat yang merasa mengalami pendidikan yang sama seperti beberapa tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Sapardi Djoko Darmono, seorang sastrawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI Ia menyatakan Sang Pemimpi merupakan “Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan” (Ruktin Handayani: 2008).
Isi novel Sang Pemimpi menegaskan bahwa keadaan ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang dalam meraih cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Kemiskinan adalah penyakit sosial yang berada dalam ruang lingkup materi sehingga tidak berkaitan dengan kemampuan otak seseorang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Sang Pemimpi. Analisis terhadap novel Sang Pemimpi peneliti membatasi pada segi gaya bahasa dan nilai pendidikan. Berdasarkan segi gaya bahasa karena setelah membaca novel Sang Pemimpi, peneliti menemukan ada banyak gaya yang digunakan pengarang dalam menyampaikan kisah Sang Pemimpi dan banyak pengamat sastra yang mengakui kehebatan Andrea Hirata dalam menggunakan gaya bahasa. 4
Alasan dipilih dari segi nilai pendidikan karena novel Sang Pemimpi diketahui banyak memberikan inspirasi bagi pembaca, hal itu berarti ada nilai-nilai positif yang dapat diambil dan direalisasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya dalam hal pendidikan. Pradopo (1994: 94) mengungkapkan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula, ialah memberi pendidikan dan nasihat kepada pembaca. Dalam memahami nilai-nilai tersebut perlu adanya apresiasi terhadap karya prosa. Apresiasi prosa itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu.Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu. Untuk menganalisias karya prosa kita haruslah bisa “membongkar” dan menerangkan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif.
Dalam mengapresiasi karya prosa digunakan beberapa pendekatan dalam, yaitu:
o Pendekatan emotif,
o Pendekatan analitis,
o Pendekatan historis,
o Pendekatan sosiopsikologis, dan
o Pendekatan didaktis.
Jika mengacu pada studi teori sastra ada empat pendekatan
o   Sastra dan masyarakat
o   Sastra dan biografi
o   Sastra dan psikologi
o   Sastra dan pemikiran

B.     Rumusan Masalah
Bagaimana analisis novel Sang Pemimpi degan berbagai macam pendekatan Emotif,  analitis, sosiopsikologi, didaktis, dan biografi ?
C.    Tujuan
            Untuk memahami, menghayati dan menilai sebagai bentuk apresiasi novel Sang  Pemimpi.
D.    Manfaat
            Manfaat yang dapat diperoleh ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran   bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang pembelajaran sastra yang dikaji melalui beberapa pendekatan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN

Sinopsis Novel Sang Pemimpi
Tiga orang pemimpi. Setelah tamat SMP, melanjutkan ke SMA bukan main, di sinilah perjuangan dan mimpi ketiga pemberani ini dimulai. Ikal, salah satu dari anggota Laskar Pelangi, Arai, saudara sepupu Arai yang sudah yatim piatu sejak SD dan tinggal di ruamh Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah danIbu Ikal, dan Jimbron, anak angkat seorang pendeta karena yatim piatu juga sejak kecil. Namun pendeta yang sangat baik dan tidak memaksakan keyakinan Jimbron, malah mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat.
Arai dan Ikal begitu pintar dalam sekolahnya, sedangkan Jimbron, si penggemar kuda ini biasa-biasa saja. Malah menduduki rangking 78 dari 160 siswa. Sedangkan Ikal dan Arai selalu menjadi lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi, karena bagi Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi. Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke Sarbonne Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Beia, guru seninya, yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras menjadi kuli ngambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu. Mati-matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun kalau dilogika, tabungan mereka tidak akan cukup untuk sampi ke sana. Tapi jiwa optimisme Arai tak terbantahkan.
Selesai SMA, Arai dan Ikal merantau ke Jawa, Bogor tepatnya. Sedangkan Jimbron lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan Ikal sampai di Perancis, maka jiwa Jimbron pun akan selalu bersama mereka. Berbula-bulan terkatung-katung di Bogor, mencari pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah banyak pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, Ikal diterima menjadi tukang sortir (tukang Pos), dan Arai memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi UI. Dan setelah lulus, ada lowongan untuk mendapatkan biasiswa S2 ke Eropa. Beribu-ribu pesaing berhasil ia singkirkan dan akhrinya sampailah pada pertandingan untuk memperebutkan 15 besar.
Saat wawancara tiba, tidak disangka, profesor pengujinya begitu terpukau dengan proposal riset yang diajukan Ikal, meskipun hanya berlatar belakang sarjana Ekonomi yang masih bekerja sebagai tukang sortir, tulisannya begitu hebat. Akhirnya setelah wawancara selesai, siapa yang menyangka, kejutan yang luar biasa. Arai pun ikut dalam wawancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita, akhirnya mereka berdua dipertemukan dalam suatu forum yang begitu indah dan terhormat. Begitulah Arai, selalu penuh dengan kejutan. Semua ini sudah direncanaknnya bertahun-thaun. Ternyata dia kuliah di Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan Biologi. Tidak kalah dengan Ikal, proposal risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru.
Akhirnya sampai juga mereka pulang kampung ke Belitong. Ketika ada surat datang, mereka berdebar-debar membuka isinya. Pengumuman penerima Beasiswa ke Eropa. Arai begitu sedih karena dia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat ingin membuka kabar tu bersama orang yang sanag dia rindukan. Kegelisahan dimulai. Tidak kuasa mengetahui isi dari surat itu. Akhirnya Ikal diteima di Perguruan tinggi, Sarbone Pernacis. Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, inilah jawaban dari mimpi-mimpi mereka. Kedua sang pemimpi ini diterima di Universitas yang sama. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Disinilah perjuanagan dari mimpi itu dimulai, dan siap melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.


1.      Analisis Novel Sang Pemimpi dengan Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasanyang lucu dan menarik.
Prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat pembaca untuk menikmati sehingga mampu menemukan unsure-unsur keindahan maupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan masalah gaya bahasa seperti metafora, simile, maupun penataan setting yang mampu menghasilkan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang lucu dan menarik sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kepada pembaca.
Di sini saya akan menyampaikan mengenai keindahan bahasa dalam novel Sang Pemimpi. Berikut ini adalah uraian mengenai keindahan bahasa dalam novel Sang Pemimpi melalui gaya bahasa.

a. Hiberbola
Hiperbola adalah ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan baik jumlah, ukuran, atau sifatnya. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat beberapa data gaya bahasa hiperbola diantaranya yaitu sebagai berikut.

1) Dangdut india dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu (SP, 3). Kalimat tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena pemutaran kaset apapun tidak ada yang diputar meliuk-liuk, apalagi sampai pilu, jadi kalimat tersebut terlalu melebih-lebihkan.
2) Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakkan dengan keras sehingga seluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas! (SP, 12). Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu lelebih-lebihkan. Seakan-akan Pak Mustar adalah sosok yang sangat kejam sebagai guru dengan menganiaya Ikal sampai meronta-ronta.
3) Suara Pak Mustar membahana (SP, 13). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “membahana” seakan-akan melebih-lebihkan suara Pak Mustar yang sangat keras.
4) Kulirik sejenak jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak-teriak histeris membelaku, hanya membelaku sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap dada,…(SP, 13). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan sikap manusia yang berteriak histeris, melonjak-lonjak dengan barisan yang panjang. Kata “ayu” juga seakan-akan melambangkan kecantikan manusia, padahal yang digambarkan adalah barisan panjang dan rapi.
5) Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak (SP, 18). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan ketika mencium bau amis wajahnya berubah memerah.
6) Terpanaku mengkilat mengancam Arai. (SP, 18). Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan, karena kata “mengkilat” tidak akan bisa mengancam manusia.
7) Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari 130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan nafas perih menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku mengigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.
Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenang kayang terbelalak dan kelabu membuatku gugup. (SP, 19). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan. Kalimat “tulang-tulangku melengkung”, tidak mungkin pada dunia nyata tulang manusia bisa melengkung, kalimat selanjutnya juga menjelaskan tulang bergeser itu juga tidak mungkin. Kata “menyayat-nyayat” dan “teriris” seakan-akan dibesar-besarkan.
8) Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujan bola matanya, menyusupi lensa, selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya. (SP, 21). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “menghujan” terlalu membesar-besarkan karena seakan-akan “tatapan” adalah benda hidup yang dapat menuysup ke dalam bagian mata.
9) Lamunanku terhempas di atas meja batu pualam putih yang panjang. (SP, 21). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “lamunanku” seakan-akan adalah benda hidup yang dapat terhempas di atas meja.
10) Jantungku berdetak satu per satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. (SP, 22). Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “jantungku” terlalu membesar-besarkan seperti benda hdup yang dapat mengikuti langkah manusia.
11) Ratusan pembeli terpengarah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang panjang: tak tertuju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi. (SP, 22). Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kalimat “tak tertuju, berminyak-minyak, busuk belepotan udang rebon basi” terlalu membesar-besarkan hal tersebut menggambarkan wajah tiga anak yang sangat capek karena selesai bekerja.
b. Metonomia
Metonomia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat 3 data gaya bahasa metonomia, yaitu sebagai berikut.
1) Khawatir jagoannya ditangkap garong (SP, 13).. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “garong” dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu Pak Mustar yang terkenal sangat keras,galak, dan disiplin tinggi.
2) Pangeran Mustika Raja Brana dan rombongannya dibawa ke ranch capo di pinggir kampong (SP, 173). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “Pangeran Mustika Raja Brana” dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu seekor kuda dari aria yang diberikan kepada Jimbron.
3) Berdebar-debar Jimbron meletakkan kakinya di pijakan sangga wedi untuk menaiki pangeran (SP, 179). Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “pangeran” dipakai untuk mengganti atribut objek yaiitu seekor kuda dengan julukan lengkap Pangeran Mustika Raja Brana.

c. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat beberapa data gaya bahasa personifikasi, yaitu sebagai berikut.
1) Dataran ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkkan tenaga dahsyat kataklismik. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap dataran bisa mencuat dan keluar dari kulit bumi, jadi seakan-akan dataran bisa keluar sendiri seperti benda hidup.
2) Sedangkan di belahan yang lain, semburat ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu berlapis minyak .Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena semburat ultraviolet diibaratkan seperti benda hidup yang bisa menari-nari di atas permukaan laut, padahl kalimat tersebut menjelaskan bahwa menggambarkan sinar ultraviolet yang memancarkan sinarnya.
3) Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun beruntun seorang petinju. Kalimat tersebut bisa dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena kata “jantungku” diibaratkan seperti benda hidup yang bisa berayun-ayun, padahal kata berayun-ayun tersebut menggambarkan keadaan jantung yang berdetak kencang.

4) Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, dan menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena “pancaran matahari” diibaratkan sebagai benda hidup, yaitu bisa menikam lubang-lubang dinding papan, padahal kalimat tersebut menggambarkan terik matahari yang sangat panas.
5) Mendung menutup separuh langit. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena “mendung” di atas diibaratkan sebagai benda idup yang dapat menutup langit, padahal kalimat tersebut menjelaskan bahwa dengan adanya mendung maka separoh langit terlihat gelap.
6) Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu (SP, 8). Kata “kapitalis” diibaratkan sebagai benda hidup yang bisa meliuk-liuk, padahal kata “kapitalis” di atas menggambarkan kata sifat.
7) Maka muncullah bongkahan jambul berbinar-binar (SP, 11). Kata “jambul” diibaratkan sebagai benda hidup yang bisa berbinar-binar.

8) Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan yang mampu menembus tulang-tulang. (SP, 12). Kata“penglihatan” diibaratkan sebagai benda hidup yang mampu menembus tulang-tulang.
9) Suara peluit menjerit-jerit (SP, 14). Kata “suara” diibaratkan benda hidup yang bisa berteriak-teriak.
10) Otakku berputar cepat mengurai satu persatu perasaan cemas (SP, 18). Kata “otakku” diibaratkan hidup yang bisa berputar, tetati kalimat di atas menggambarkan bahwa menggambarkan pikiran yang tidak karuan dan sangat cemas.

d. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa perbandingan yang implisit--jadi tanpa kata atau sebagai—dua hal yang berbeda (Moeliono, 1989: 175). Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat 4 data gaya bahasa metafora, yaitu sebagai berikut.
1) Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena sorot mata dibandingkan dengan dinginnya es. Maksud kalimat di atas gerik-gerik dan sorot matanya sangat kaku dan dingin.
2) Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena sikap Pak Mustar tiba-tiba berubah menjadi monster yaitu dengan wajah yang mengerikan, karena justru anak lelakinya malah tidak diterima di SMA Negeri itu.
3) Pak Mustar menjadi seorang guru bertangan besi. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena Pak Mustar dicap menjadi guru yang bertangan besi, yaitu beliau sangat keras dan disiplin dalam mengajari siswanya.

4) Hari ini seperti hari Columbus menemukan Amerika. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena pada hari itu merupakan hari yang bersejarah, ibaratnya seperti Columbus menemukan Amerika.
e. Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat beberapa data gaya bahasa simile, yaitu sebagai berikut.
1) Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uanp lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi .  dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran langit pada kalimat di atas sudah sangat jelas karena penggambaran tersebut keadaannya adalah “gelap gulita”
2) Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran dahi yang berkilat-kilat itu karena kukuh basah oleh keringat.
3) Ia westerling berwajah tirus manis. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran wajahnya sangat jelas, yaitu berwajah tirus manis.
4) Pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran SMA Negeri tersebut adalah sekolah yang sangat kaya, oleh karena itu kalimat di atas memakai kata “kaya raya”.
5) Ia petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran petantang-petenteng mondar mandirnya mempunyai perbandingan yang implisist yaitu hilir mudik.
6) Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas langit (SP, 33). Artinya yaitu berjiwa seluas langit yang mempunyai arti sabar yang luar biasa.

7) Surainya laksana jubah putih yang mengibas mengikuti tubuhnya yang menggelinjang-gelinjang (SP, 172). Kalimat tersebut menggambarkan surainya yang mengibas seperti jubah.
8) Kini hatinya yang lugu itu hampa, hampa seperti tong-tong aspal tempatnya berdiri (SP, 174). Arti dari kalimat  di atas yaitu hatinya yang lugu itu hampa hal tersebut menggambarkan suasana hati yang kesepian.
9) Keajaiban yang mengejutkan seperti jutaan bintang meledak, …(SP, 176-177). Kalimat di atas artinya yaitu melukiskan keajaiban dengan mengibaratkan jutaan bintang yang meledak.
10) Kaki-kakinya kukuh besar seperti pilar (SP, 171). Kalimat di atas artinya yaitu kukuh besar seperti pilar yang menggambarkan keadaan kaki-kakinya.
11) …wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. (SP, 26). Kalimat di atas dikategorikan sebagai bahasa simile karena mempunyai bandingan yang implisit yaitu semerah buah saga untuk menggambarkan wajahnya.

f. Asosiasi
Asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi ada beberapa gaya bahasa asosiasi, yaitu sebagai berikut.
1) …, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan di laut tersebut telah dilukiskan secara nyata, yaitu diibaratkan oleh reign of fire yang artinya zaman api.
2) Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan wajah jimbron diibaratkan seperti buah mentega yaitu berbentuk bulat dan merona.
3) …sebab tak seorangpun ingin memedulikan laki-laki yang berbau seperti ikan pari. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan laki-laki tersebut yang sangat bau diibaratkan seperti bau ikan pari.
4) Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar,…. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan yang sangat cepat. Oleh karena itu, diibaratkan seperti terkaman macan akar.
5) Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki . Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan mulut mungil yang menganga dapat diibaratkan seperti ikan mas koki.

Novel Sang Pemimpi juga dapat menghidupkan isi cerita di dalamnya lebih hidup dan dapat menambah variasi keindahan serta menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan melalui gaya bahasanya. Dari gaya bahasa personifikasi yang dipakai oleh Andrea Hirata juga akan menghasilkan nilai didik yang sangat bermanfaat bagi para pembaca.

2.      Analisis Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Analitis
Struktur Novel Sang Pemimpi
1.      Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra (Sudjiman, 1994:54).
Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema.Tema sendiri merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Novel ini memiliki tema tentang persahabatan dan perjuangan dalam mengarungi kehidupan serta kepercayaan terhadap kekuatan sebuah mimpi atau pengharapan. Hal itu dapat dibuktikan dari penceritaanper kalimatnya dimana penulis berusaha menggambarkanbegitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawaseseorang menerjang kerasnya kehidupan dan batas kemustahilan.
2.      Alur
Staton (1965:14) mengemukakan alur adalah cerita yang berisi kejadian, tetapi kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab – akibat, peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Alur adalah tulang punggung dari sebuah cerita karena alur merupakan jalannya cerita.
Alur dalam novel ini menggunakan alur gabungan (alur maju dan mundur). Alur maju ketika pengarang menceritakan dari mulaikecil sampai dewasa dan alur mundur ketika menceritakanperistiwa waktu kecil pada saat sekarang/dewasa.

3.      Penokohan
Sebagain tokoh – tokoh karya fiksi adalah tokoh – tokoh rekaan yang dimaksud tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami cerita kendati berupa rekan atau hasil imajinasi pengarang, masalah penokohan tidak bisa dipisahkan dari suatu karya sastra dan merupakan suatu bagian yang penting dalam membangun sebuah cerita (Nurgiyantoro,1994:66).
A. Tokoh Utama

1. Ikal adalah anak kampung yang miskin.
2. Arai adalah tokoh sentral dalam buku ini. Menjadi saudara angkat Ikal ketika kelas 3 SD saat ayahnya (satu-satunya anggota keluarga yang tersisa) meninggal dunia. Seseorang yang mampu melihat keindahan di balik sesuatu, sangat optimis dan selalu melihat suatu peristiwa dari kaca mata yang positif. Arai adalah sosok yang begitu spontan dan jenaka, seolah tak ada sesuatupun di dunia ini yang akan membuatnya sedih dan patah semangat.
3. Jimbron, anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang pastur Katolik bernama Geovanny.Laki-laki berwajah bayi dan bertubuh subur ini sangat polos. Segala hal tentang kuda adalah obsesinya, dan gagapnya berhubungan dengan sebuah peristiwa tragis yang memilukan yang dia alami ketika masih SD , dulu ayahnya sekarat di depan matanya maka ia membawa ayahnya dengan sepeda yang lajunya lama sampai di puskesmas ayahnya meninggal di depan matanya dan waktu ditanyai orang-orang di sudah terlanjur gagap karena terlalu banyak menangis sampai tersendat-sendat ia selalu berfikir jika saja waktu itu dia menaiki kuda pasti ayahnya tertolong. Jimbron adalah penyeimbang di antara Arai dan Ikal, kepolosan dan ketulusannya adalah sumber simpati dan kasih sayang dalam diri keduanya untuk menjaga dan melindunginya.

B. Tokoh Lain
1. Pendeta Geovanny, ia adalah seorang Katolik yang mengasuh Jimbron selepas kepergian kedua orangtua Jimbron. Meskipun berbeda agama dengan Jimbron, beliau tidak memaksakan Jimbron untuk turut menjadi umat Katolik. Bahkan beliau tidak pernah terlambat mengantar Jimbron pergi ke masjid untuk mengaji. Meski disebut Pendeta, Geovanny yang berdarah Italia ini adalah seorang Pastor.
2. Pak Mustar M. Djai'din. BA. adalah salah satu pendiri SMA Bukan Main. Ia adalah wakil kepala sekolah SMA Bukan Main, seorang yang baik dan cukup sabar namun berubah menjadi tangan besi ketika anaknya sendiri justru tidak diterima masuk ke SMA tersebut karena NEMnya kurang 0,25 dari batas minimal.Terkenal dengan aturan-aturannya yang disiplin dan hukuman yang sangat berat. Namun sebenarnya beliau adalah pribadi yang sangat baik dan patut dicontoh.
3. Pak Drs. Julian Ichsan Balia; Kepala Sekolah SMA Negeri Manggar.Laki-laki muda, tampan, lulusan IKIP Bandung yang masih memegang teguh idealisme.
4. Nurmala; Zakiah Nurmala binti Berahim Mantarum,gadis pujaan Arai sejak pertama kali Arai melihatnya. Nurmala adalah gadis yang pandai, selalu menyandang ranking 1. Ia juga penggemar Ray Charles dengan lagunya I Can't Stop Loving You dan Nat King Cole dengan lagunya When I Fall in Love.
5. Laksmi; gadis pujaan Jimbron. Telah kehilangan kedua orangtuanya dan tinggal serta bekerja di sebuah pabrik cincau. Semenjak kepergian orangtuanya ia tidak pernah lagi tersenyum, walaupun senyumnya amat manis. Ia baru dapat tersenyum ketika Jimbron datang mengendarai sebuah kuda.
6. Capo Lam Nyet Pho; Seorang yang memungkinkan berbagai hal sebagai objek untuk bisnisnya. Bahkan ketika PN Timah terancam kolaps, ia melakukan ide untuk membuka peternakan kuda meskipun kuda adalah hewan yang asing bagi komunitas Melayu.
7. Taikong Hamim; Guru mengaji di masjid di kampung Gantung.Dikenal sebagai sosok nonkonfromis dan sering memberlakukan hukuman fisik kepada anak-anak yang melakukan kesalahan.
8. Bang Zaitun; Seniman musik pemimpin sebuah kelompaok Orkes Melayu. Dikenal sebagai orang yang pernah mempunyai banyak pacar dan hampir
memiliki 5 istri. Sebenarnya kunci keberhasilannya dalam percintaan adalah sebuah gitar. Ia pun mengajarkan hal tersebut pada Arai yang sedang mabuk cinta dengan Nurmala.
9. A Kiun; Gadis Hokian penjaga loket bioskop.
10. Nurmi; Berbakat memainkan biola, mewarisi biola dan bakat dari kakeknya yang ketua kelompok gambus di Gantung. Nurmi adalah tetangga Arai dan Ikal, seumuran, dan dia adalah gadis yang sangat mencintai biola.
11. Pak Cik Basman; Seorang tukang sobek karcis di sebuah bioskop di Belitong.
12. A Siong; Pemilik toko kelontong tempat Ikal dan Arai berselisih tentang penggunaaan uang tabungan
13. Deborah Wong; Istri A Siong dan ibu dari Mei Mei. Perempuan asal Hongkong yang tambun dan berkulit putih.
14. Mei Mei; Gadis kecil anak Deborah Wong
15. Seman Said Harun : ayah Ikal, yang sangat pendiam, bekerja sebagai pendulang timah dan akan memakai baju safari empat saku jika akan mengambil rapotnya Ikal dan Arai.
16. A Ling, walau hanya sekali disebut dalam novel ini ia adalah wanita hokian yang sangat dicintai Ikal, anak pemilik Toko Sinar Harapan dan meninggalkan Ikal untuk merantau ketika Ikal kelas tiga SMP.

4.      Latar
Latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita. Keberadaan elemen latar pada hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan keterkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (Sudjiman.1994:46).
a.       Latar tempat :
·         Pulau Magai Balitong : Aku dan Arai untuk pertama kali pulang ke Belitong. Kami telah memenuhi tantangan guru SD-ku, Bu Muslimah dan Pak Mustar, yaitu baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami mampu menyelesaikan kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar weselpun (hal. 263), Pulau Belitong tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak pernah lindap diganyang ombak dua samudra dahsyat yang bergelora mengurungmu, Belitong yang kukuh tak terkalahkan,…(SP, 221).
·         Pasar : Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai (SP, 20).
·         Los pasar dan dermaga pelabuhan : Jika merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya
·         Los Kontrakan : Dan sampai di los kontrakan, melongok ke dalam kaleng celenganku yang penuh, penuh oleh uang receh darah masa mudaku yang berapi-api perlahan padam (SP, 144).
·         Gedung bioskop : Jika merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).
·         Di sekolah SMA Negeri Bukan Main : Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus….(SP, 6), WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan.
·         Terminal Bogor
·         PulauKalimantan.
b.      Latar waktu :
·         Pagi  : Pagi merekah, bayangan kuda dan ksatria membayang seperti siluet di tengah sebuah benda bulat merah jingga yang muncul pelan-pelan di kaki langit (SP, 179).
·         Siang : Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless siang itu.
·         Sore    : Inilah bintang kejora pertunjukan sore ini (SP, 172), Hujan sore tadi tapi sekarang langit cerah, purnama timbul tenggelam di antara gumpalan-gumpalan awan (SP, 203).
                          
·         Malam : Susah kupejamkan mataku malam-malam memikirkan kehebatan lompatan karierku dari kuli ngambat beberapa bulan yang lalu sekarang jadi amtenar yang berangkat kerja dengan baju seragam (SP, 243).

c.       Latar nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak remaja yang diselimuti impian-impian besar.

5.      Sudut pandang
Sudut PandangSudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan). Dimana penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.

6.      Gaya Penulisan
Gaya penceritaan novel ini sangat sempurna. Yaitu kecerdasan kata-kata dan kelembutan bahasa puitis berpadu tanpa adaunsur repetitif yang membosankan. Setiap katanyamengandung kekayaan bahasa sekaligus makna apik dibaliktiap-tiap katanya. Selain itu, Novel ini ditulis dengan gaya realisbertabur metafora, penyampaian cerita yang cerdas danmenyentuh, penuh inspirasi dan imajinasi. Komikal dan banyak mengandung letupan intelegensi yang kuat sehingga pembacatanpa disadari masuk dalam kisah dan karakter-karakter yangada dalam novel Sang Pemimpi.

7.      Amanat
Amanat yang disampaikan dalam Sang Pemimpi ini adalah jangan berhenti bermimpi. Hal itu sangat jelas pada tiap-tiap sub babnya. Yang pada prinsipnya manusia tidak akan pernahbisa untuk lepas dari sebuah mimpi dan keinginan besar dalam hidupnya. Hal itu secara jelas digambarkan penulis dalam novelini dengan maksud memberikan titik terang kepada manusiayang mempunyai mimpi besar namun terganjal oleh segala keterbatasan.Sudut Pandang Sudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan). Dimana penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.

3.      Analisis Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Sosiopsikologis
Sosiologi dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda.Sosiologi adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan kenyataan sosial sebagai objek formal.Dalam perspektif sosiologi, kenyataan sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra. Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya.Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya. Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya.Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya.Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang.Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.  Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan.
Menurut pengamatan novel Sang Pemimpi merupakan novel yang mengandung unsur-unsur budaya. Menurut Koentjaraningrat (1974), kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu:1) sistem religi dan upacara keagamaan; 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) system mata pencarian hidup; dan 7) sistem teknologi dan peralatan. Jika ditinjau dari unsurunsur kebudayaan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa novel ini menitikberatkan pada masalah sistem pengetahuan atau pendidikan. Bagi anak-anak Melayu pedalaman Belitung, mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat Belitung memiliki semboyan jangan dak kawa nyusa aok yang artinya, setiap keberhasilan memerlukan kerja keras. Kerja keras anak-anak Belitung tampak pada
penggalan cerita di bawah ini :
                Kami berdiri dari pagi sampai malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya      yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan pengetahuan botani, fisiologi tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika di muka kami. Lipatan aksara ilmu pada kertas-kertas yang tajam mengiris jemari kami, menyayat hati kami yang bercita-cita besar ingin melanjutkan sekolah. Kami kelelahan ditumpuki buku-buku tebal dari mahasiswa baru sampai professor yang akan pensiun dalam euforia akademika yang sedikit pun tak dapat kami sentuh. Pekerjaan fotokopi menimbulkan perasaan sakit nun jauh di dalam hati kami (hal.238).

 Aku dan Arai untuk pertama kali pulang ke Belitong. Kami telah memenuhi tantangan   guru SD-ku, Bu Muslimah dan Pak Mustar, yaitu baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami mampu menyelesaikan kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar wesel pun (hal. 263).

Teori sosiosastra juga digunakan untuk menelaah novel Sang Pemimpi agar nilai-nilai sosial yang terpusat pada nilai budaya dapat dianalisis dengan mengaitkan antara latar, alur, penokohan, dan tema dengan unsur-unsur kebudayaan, seperti: pendidikan, cita-cita, cinta, mata pencarian, system kemasyarakatan, teknologi, dan religi. Karena karya ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai sosial di antaranya adalah nilai pendidikan. Hal ini terbukti pada petikan kalimat berikut:
 “Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan  mimpi-mimpi. Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpimimpi itu!!”(hal.153)

                   Namun, sekarang aku memiliki filosofi baru bahwa berbuat yang terbaik pada titik di  mana aku berdiri. Maka sekarang aku adalah orang yang paling optimis. Aku terpatri dengan cita-cita agung kami: ingin sekolah ke Perancis, menginjakkan kaki di Sorbone, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak pernah sedikit pun mengkompromikan cita-cita itu (hal.208).

Nilai budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan kalimat di bawah ini:
                  Jika merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan  orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).

4.      Analisis Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis adalah pendekatan yang berusahaa menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluative maupun sikap pengarang terhadaap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai moral yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
1.Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Agama dapat pula bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (SP, 61)
Di lihat dari kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi mencerminkan tokoh yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun dia hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penamaan nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong dan tidak angkuh pada sesama. Manusia menjadi saling mencintai dan menghormati, dengan demikian manusia bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan Tuhan, sesama manusia maupun makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang penyayang dan menghormati manusia lain yang beda agama, ternukti bahwa Jimbron sebagai anak angkatnya justru malah setiap harinya diantar mengaji dan tidak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa pars pro toto yang terlihat pada kata “sebatang kara” yang berarti tidak punya siapa-siapa, hanya hidup seorang diri tanpa ada keluarga di dekatnya. Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian dari keseluruhan, berarti kata tersebut dalam kutipan di atas yang hidup sebatang kara yang dimaksud adalah Jimbron.
Sebuah karya sastra yang mengangkat sebuah kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan akan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya, maka hubungan yang harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup manusia menjadi tenteram dan bahagia karena nilai religius merupakan keterkaitan antarmanusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan di dunia. Nilai religius akan menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam keseharian kita kenal dengan takwa. Seperti yang tergambar dalam tokoh Arai di bawah ini.
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam.”
Perilaku Arai dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang yang taat pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa diperintah siapapun.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa hipalase yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sesuata, namun kata tersebut tidak tepat bagi kata yang diterangkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat “seisi rumah kami terdiam”, yang dimaksud dalam kalimat kalimat tersebut adalah anggota keluarga Arai.

2. Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral sering disamakan dengan nilai etika, yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi dalam segala hal, sikap yang penuh dengan kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan. Seperti halnya jika dalam agama, seorang hamba jika menjalankan shalat tepat waktu akan mendapat pahala lebih banyak, demikian juga jika disiplin dijalankan pada pekerjaan lainnya dan tanpa memandang siapa yang berperan dalam melakukan perbuatan disiplin tersebut, Seperti pada kutipan berikut mengandung nilai moral yang sangat penting.
“WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan kamilah yang menaanggung semua kebejatan moral mereka.”(SP, 130)
Kutipan di atas sangat tidak pantas dijadikan contoh bagi masyarakat, khususnya para penerus bangsa (siswa). Jelas WC yang keran airnya mampet, malah masih digunakan. Apalagi yang menggunakannya adalah para intelek muda yang dasar pendidikannya ada. Mereka yang menggunakan tidak menghiraukan walaupun agama sudah mengajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka yang melakukan justru malah tidak merasa bersalah, walaupun orang lain yang kena dampak dari ulah mereka. Pendidikan moral sangat penting untuk mendidik manusia yang belum benar tapi merasa sudah benar.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan moral karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa sarkasme yaitu gaya bahasa sindiran yang paling kasar dalam pengungkapannnya. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “tempurung otaknya telah pindah ke dengkul”. Arti dari kalimat tersebut adalah orang yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli aturan dan etika.
Pengembangan nilai moral sangat penting supaya manusia memahami dan menghayati etika ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai etika mampu menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan demikian akan terwujud perasaan saling hormat, saling sayang, dan tercipta suasana yang harmonis. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“ LAIN KALI MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!! PASANG HURUF H BESAR DI DEPAN NAMANYA, MENGAKU DIRINYA HAJI???!! PADAHAL AKU TAHU KELAKUANNYA!! WAKTU JADI MAHASISWA, WESEL DARI IBUNYA DIPAKAINYA UNTUK MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP, 168)
“ITULAH KALAU KAU MAU TAHU TABIAT PEMIMPIN ZAMAN SEKARANG, BOI!! BARU MENCALONKAN DIRI SUDAH JADI PENIPU, BAGAIMANA KALAU BAJINGAN SEPERTI ITU JADI KETUA!!??”(SP, 168)
Kutipan di atas terlihat jelas mengandung nilai pendidikan moral melalui penggunakan gaya bahasa antifrasis yaitu gaya bahasa sindiran yang mempergunakan kata-kata yang bermakna kebalikannya dan bernada ironis. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “bagaimana kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak baik seandainya menyalonkan menjadi ketua, maka tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
Kedua kutipan di atas mengandung makna tersirat nilai moral, karena tercantum jelas bahwa bupati yaitu pemimpin sekarang kelakuannya sudah tidak jujur dan menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi kepemimpinannya. Hal tersebut perlu diubah, supaya moral manusia yang lain tidak ikut tercemar. Adapun nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu rangkaian cerita karena karya sastra itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku.

3. Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya. Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial, karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik. Kritik tersebut dilatar belakangi oleh dorongan untuk memprotes ketidakadilan yang dilihat, didengar maupun yang dialaminya, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan di atas dapat di jelaskan bahwa walaupun Ikal sangat benci kepada Arai tapi jiwa penolongnya kepada Jimbron masih tetap ada dalam dirinya, karena dia merasa walau bagaimanapun mereka adalah bersaudara. Kutipan di atas secara jelas megandung nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, misalnya membesar-besarkan suatu hal dari yang sesungguhnya. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan “benci setengah mati” yang mempunyai arti sangat membenci.
Nilai sosial berkenaan dengan kemanusiaan dan mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan sifat-sifat yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan lainnya yang merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Seperti yang tercermin pada kutipan di bawah ini.
“Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak kan ada siapa-siapa untuk mengambil apapun.”(SP, 25)
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal Ikal dan ayahnya menjemput Arai untuk di bawa ke rumahnya. Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada waktu menjemput Arai, Ikal membantu Arai untuk membawakan buku-bukunya yang masih perlu di bawa.
Kutipan di atas dapat didlihat secara jelas mengandung nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Hal tersebut dapat dilihat dari kata “membawa”, “meninggalkan”, dan “membiarkan. Kata itu mempunyai pertautan dalam satu kutipan.
Nilai sosial juga berupa hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan. Cerminan tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutar balikkan logikasentimental ini. Ia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “aku tersenyum tapi tangisku tak reda”. Kalimat tersebut mempunyai arti Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis . Tokoh Ikal yang seharusnya menghibur Arai ketika ia mendapat musibah ternyata malah berputar terbalik. Justru Arai yang berusaha menghibur Ikal supaya dia tersenyum, itulah sosok Arai yang tidak mudah ditebak. Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain juga dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Arai menyerahkan karung-karung kami pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai, dengan bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. Mulai sekarang Mak Cik mempunyai penghasilan! Seru Arai bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau terkaget-kaget” dan kalimat tersebut mempunyai arti yaitu sangat terkejut.
Arai tidak tega melihat Mak Cik yang hidup kesusahan. Dia juga menyuruh Arai untuk memecah celengannya untuk menolong Mak Cik. Cara mereka dengan membelikan bahan-bahan untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai sosial sangatlah penting. Sifat tersebut juga bertujuan untuk membangun sikap saling peduli dan saling peka antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di bawah ini.
“Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia lakukan padaku. Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya. Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap kembali, tanpa banyak cincong Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam, aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia membelaku dalam perkara rambut belah tengah toni Koeswoyo saat aku masih SD dulu. Bertahun lewat taoi aku tak kan lupa Rai, akan kubalas kebaikanmu yang tak terucapkan itu, jasamu yang tak kenal pamrih itu, ketulusanmu yang tak kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa perumpamaan yaitu perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur” yaitu sepatu yang lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan dengan buaya yang berjemur, yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung jawab terhadap kebahagiaan orang lain juga menjadi jaminan untuk menjalankan sikap kemanusiaan, supaya kebahagiaan orang lain terasa lengkap dengan sikap kita terhadapnya.
“Bang Zitun sangat komit pada penampilan Arai kali ini sebab ia merasa bertanggung jawab pada kegagalan Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan di atas adalah wujud sikap tanggung jawab Bang Zaitun untuk memksimalkan penampilan Arai dalam memikat hati Nirmala sang pujaan hatinya, karena penampilan Arai yang pertama kurang maksimal sehingga untuk memikat hati Nirmala bisa dikatakan gagal.

4. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai pendidikan budaya adalah tingkat yang palig tinggi dan yang paling abstrak dari adat istiadat. Hali itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai., berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang member arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum mempunyai ruang ligkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kebiasaan dalam daerah tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat melayu ketika mulai beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah berusaha bekerja mencari uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Maka tidak heran, banyak remaja yang memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan memilih untuk bekerja. Kutipan di atas secara jelas mengandung nilai pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Hal itu dapat dilihat dari kata “anak-anak” dan “remaja” terdapat pada satu kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur dan nilai kebudayaan juga dapat dilestarikan dengan menggunakan benda atau barang kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut juga diterapkan oleh masyarakat Melayu, yaitu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (SP, 36)
Kutipan di atas terdapat kata “peregasan” yang artinya adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya pasti terdapat peregasan yang berfungsi untuk menyimpan beras. Bagi orang Melayu juga menganggap peregasan adalah sebuah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantik.
Kutipan di atas secara jelas mempunyai kandungan nilai pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu terlihat pada kalimat “keluarga tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ”. Kalimat tersebut mempunyai arti bahwa hewan tikus yang berkembang biak sangat banyak.
Nilai budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan kalimat di bawah ini:
Jika merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah
masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).

5.      Analisis Novel Sang Pemimpi Menggunakan Pendekatan Biografi
Biografi Andrea Hirata
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea Hirata sendiri merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said Harunayah dan NA Masturah. Ia dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.
Nama Andrea Hirata Seman Said Harun melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, Laskar Pelangi. Pria yang berulang tahun setiap 24 Oktober ini semakin terkenal kala novel pertamanya yang jadi best seller diangkat ke layar lebar oleh duo sineas yaitu Riri Riza dan Mira Lesmana. Selain Laskar Pelangi, lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menulis Laskar Pelangi dan Edensor, serta Maryamah Karpov. Keempat novel tersebut tergabung dalam sebuah tetralogi tetralogi. Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cumlaude.
Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi ilmiah. Penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung ini masih hidup melajang hingga sekarang. Status lajang yang disandang oleh Andrea sempat memicu kabar tak sedap. Karena pada bulan November 2008, muncul pengakuan dari seorang perempuan, Roxana yang mengaku sebagai mantan istrinya. Akhirnya terungkap bahwa Andrea memang pernah menikah dengan Roxana pada 5 Juli 1998, namun telah dibatalkan pada tahun 2000. Alasan Andrea melakukan pembatalan ini karena Roxana menikah saat dirinya masih berstatus istri orang lain.
Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, Laskar Pelangi pada 2008. Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana pada produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali merilis novelnya Sang Pemimpi.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Analisis suatu karya sastra dapat menggunakan berbagai macam pendekatan.Pendekatan digunakan untuk memperdalam pemahaman tentang aparesiasi sebuah karya sastra prosa. Pendekatan yang paling dominan yaitu melalu pendekatan emotif karena pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dan dalam menganalisis novel Sang Pemimpi banyak ditemukan unsur keindahan dari seorang pengarang melalui gaya bahasa.
Saran
Penghargan terhadap sebuah karya itu penting karena dengan begitu kita akan lebih memahami, menghayati dan menilai sebuah karya sastra prosa secara penuh dan menyeluruh.




DAFTAR PUSTAKA


Hirata, Andrea.2008. Sang Pemimpi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachmad Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya.
          Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soyoto. 2008. “Majas”. Dalam http://oyoth.wordpress.com/2008/02/01/gaya-bahasa/ diakses  pada tanggal 13 Juni 2012.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar