BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Apresiasi
prosa itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seohjektif
mungkin terhadap karya sastra prosa itu.Penghargaan yang seobjektif mungkin,
artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita
telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan
visi kita terhadap karya sastra itu. Untuk menganalisias karya prosa kita
haruslah bisa “membongkar” dan menerangkan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran
keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang
diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif.
Dalam
mengapresiasi karya prosa digunakan beberapa pendekatan dalam, yaitu:
o Pendekatan emotif,
o Pendekatan analitis,
o Pendekatan historis,
o Pendekatan
sosiopsikologis, dan
o Pendekatan didaktis.
Jika
mengacu pada studi teori sastra ada empat pendekatan
o
Sastra dan masyarakat
o
Sastra dan biografi
o
Sastra dan psikologi
o
Sastra dan pemikiran
B. Rumusan
Masalah
Bagaimana analisis novel Para Priyayi degan berbagai
macam pendekatan
Emotif, analitis, sosiopsikologi, didaktis,
biografi, masyarakat dan pemikiran?
C. Tujuan
Untuk
memahami, menghayati dan menilai sebagai bentuk apresiasi novel Para Priyayi
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Analisis Novel Para Priyayi dengan
Pendekatan Emotif
Pendekatan
emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca.Ajukan emosi
itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi
yang berhubungan dengan isi atau gagasanyang lucu dan menarik.
Prinsip-prinsip
dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa
cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat
pembaca untuk menikmati sehingga mampu menemukan unsure-unsur keindahan maupun
kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain
berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan
masalah gaya bahasa seperti metaphor, simile, maupun penataan setting yang
mampu menghasilkan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat
berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang
lucu dan menarik sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kepada
pembaca.
Di
sini kelompok kami akan menyampaikan mengenai keindahan bahasa dalam novel Para
Priyayi. berikut ini adalah uraian mengenai keindahan bahasa dalam novel Para
Priyayi.
Terdapat
bahasa yang mengesankan (memoriable) dengan memanfaatkan sumber ungkapan
bernilai budaya yaitu ketika Sastrodarsono meminta Lantip untuk menyanyikan
bait pertama lagu pucung dari serat wedhatama. Di dalam dialog tersebut,
Sastrodarsono selain menyuruh Lantip untuk menyanyikan bait pertama lagu pucung
dari serat wedhatama, Sastrodarsono juga menyuruh Lantip menyambung dengan bait
pertama lagu kinanti dari serat Wulangreh. Tembang yang ditembangkan oleh
Lantip tersebut mempunyai makna bahasa bernilai budaya yang dalam.Hal tersebut
dapat diketahui dari perkataan Sastrodarsonoberikut.“Pilihan bait-bait itu daya
rasa erat hubungannya dengan suasana gawat sekarang”. Dua bait dari wedhatama
dan wulangreh ini saling isi-mengisi. Bait lagu pucung dari wedhatama ini member tahu kita bahwa yang
disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita
melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin.
Sastrodarsono menggunakan tembang Jawa tersebut untuk menyampaikan pesan kepada
anak-anaknya tentang keadaan yang sedang terjadi. Terdapat juga bahasa yang
mengesankan seperti pada halaman 123 “mikul duwur mendhem jero”, yang mempunyai
arti menjunjung tinggi-tinggi keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib
keluarga. Bahasa mengesankan yang lain adalah adalah pesan yang disampaikan
Sastrodarsono ketikaa pohon nangka di Wanagalih jatuh, yaitu “pamrih ing gawe
rame ing pandum” yang berarti bekerja tanpa mengharap imbalan setelah
mendapatkan hasil dapat dibagi atau dirasakan bersama.
Dalam
novel ini juga ditemui penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia. Salah satunya
adalah bahaa Belanda, missal “Hoe gaat ‘t met U, Meneer Hardojo?”(apa kabar
Meneer Hardojo?). Bahasa Jepang juga dapat dijumpai dalam novel ini, missal
“Chudancho, desuka, dan lain-lain.Namun bahasa yang paling sering digunakan
adalah bahsa Jawa yang merupakan latar belakang dari kehidupan berkomunikasi
para masyarakat dalam novel tersebut.Contoh penggunaan bahasa Jawa adalah
sebagai berikut. “Le, embah wong cilik ngger, dan lain-lain.
1. Analisis
Novel Para Priyayi Dengan Pendekatan Sosiopsikologi
Sosiologi
dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda.Sosiologi
adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan
kenyataan sosial sebagai objek formal.Dalam perspektif sosiologi, kenyataan
sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama,
yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.Sosiologi
sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan
karya sastra.
Lewat
pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa
dilepaskan dari lingkungan dan jamannya.Padahal, ada saja pengarang yang tidak
terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan
politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan.
Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya,
sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya. Pendekatan
sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam
kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau
segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat.
Dapat
dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan
kehidupan sosial budayanya.Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya.Sehingga
munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak
disampaikan oleh pengarang.Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai
yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang
hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.
Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk
karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni
budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah
memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para
Priyayi karya Umar Kayam.Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang
akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat
perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi
kehidupan.Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para
Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan
orang-orang Jawa pada umumnya.
Para
tokoh dalam novel ini dilahirkan dari latar tempat, social dan waktu yang
memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu.Bahkan Umar
Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan
perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel.Tokoh dalam novel
yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat kental terutama dalam
dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa. Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam
novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko
(kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip
menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip
berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh
kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa seperti
kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata
sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara
umurnya, biasanya pakai ngoko. Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar
Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi).Misalnya tokoh Sastrodarsono
yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang pertani desa
Kedungsiwo.Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga beragama
Islam.Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti Aisyah atau Dik
Ngaisah.Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho, Hardojo, dan
Soemini.Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun keluarga Sastrodarsono
sebagai keluarga besar priyayi.
Status
priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan
orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di saat memilih
menantu mereka lebih memberatkan pada
calon menantu yang memiliki status
priyayi. Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari.Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi
yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan
dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani
dan mengayomi rakyat banyak.Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh
Lantip berpidato pada pemakaman eyangnya.Lantip dalam pidatonya memaparkan
dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi
rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Melalui
novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan
dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku
tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus
mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat
Jawa.
2. Analisis
Novel Para Priyayi Menggunakan Pendekatan Analitis
Struktur
Novel Para Priyayi
1. Tema
Setiap
novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema.Tema sendiri
merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin dapat
diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang
banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan
beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca.
Tema
yang diangkat dalam novel Para priyayi mengenai kehidupan keluarga besar
priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya.Keluarga ini adalah
keluarga Sastrodarsono.Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priayi
yang berasal dari seorang petani.Kepriayian Sastrodarsono berusaha diturunkan
kepada anak-anaknya.Sastrodarsono dan Ngaisah berhasil mendidik anak-anaknya
hingga menjadi priayi-priayi modern yang berhasil.Akan tetapi, anak-anak
Sastrodarsono juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan dalam keluarga
mereka masingmasing.Lantip, anak hasil hubungan di luar nikah antara Ngadiyem
dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil sebagai pahlawan.Lantip mampu
menyelesaikan permasalahan anak-cucu Sastrodarsono dan menjadi priayi yang
sebenarnya.
2. Alur
Novel
ini sendiri terdiri dari beberapa episode, diantaranya yaitu tentang :
Wanagalih, Lantip,Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri, Lantip,
Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya
sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dan yang lain mempunyai
hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode Lantip. Lantip
merupakan penghubung antara episode yang satu dan yang lain. Dengan adanya
pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan untuk menuturkan dirinya
sendiri bahkan menilai tokoh lain. Berdasarkan urutan waktu, secara umum alur
novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur maju yang dicampur
dengan alur mundur.Oleh karena setiap episode membentuk alurnya
sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara jelas.
Berikut
ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara keseluruhan:
a. Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap
ini dilukiskan mengenai latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini,
yaitu Wanagalih.Tahap penyituasian ini diceritakan oleh tokoh Lantip.Ketika
itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung Jakarta. Kemudian, diceritakan
keadaan Lantip pada masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip
diceritakan belum mengetahui ayah
kandungnya.
Ayah
saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya
pergi jauh untuk mencari duit (Para Priyayi, 2001: 10).
Baru
setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai
ayah kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem dan
Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia
tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan. Ia pun
telah mengerti dan tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian
memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling.
b.
Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan
konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang
penentuan sikap kepriayiaannya. Sastrodarsono mulai menemukan gaya
kepriayiannya dan berhadapan dengan model pemikiran priayi lain. Hal ini
terjadi ketika Sastrodarsono ditunjuk untuk menggatikan Martoatmodjo sebagai
kepala sekolah desa Karangdompol. Dalam benaknya
Pada
suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur koordinasi dengan para
lurah desa untuk pengaturan makan dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang
berita itu. Seorang kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal
ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan
adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa inna illaihi rojiun.... Anakku
sulung, anakku lanang mati! Dan alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung
air mata saya berlelehan (Para Priyayi, 2001:202-203). Dengan kejadian
tersebut, membuat Noegroho dan Sus terlalu memanjakan anak mereka yang lain.
Mereka berdua takut apabila sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang
dialami Toni.Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan
anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak permasalahan.
c.
Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap
ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato.Sastrodarsono
dianggap tidak menghormati Jepang karena tidak mau membungkukkan badan
menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa.Padahal bukan itu
permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang
telah senja. Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba
membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro
Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan
Tuan
Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung
geloyoran tubuhnya.Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami
dudukkan di kursi goyang.”Darusono, jerek, busuk.Genjimin bogero!”Sehabis
mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah
sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa
mereda.
Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung pucat pasi, nglokro,
lesu.Air matanya berlelehan keluar.Beliau menangis seperti anak kecil (Para
Priyayi, 2001: 129).
Selain
itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui bahwa Marie hamil di
luar nikah dengan Maridjan.Kejadian ini sangat mengagetkan kedua orang tuanya
dan Sastrodarsono.Terlebih lagi, ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai
istri dan anak. Kejadian ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho
terkejut, terutama Marie yang juga belum mengetahui
permasalahan
ini. “Heeh?!Maridjan sudah punya istri dan anak?Asu, bajingan tengik
Maridjan!”Bude Sus hampir pingsan mendengar laporan saya.Pakde Noegroho merah padam
mukanya.Sedang Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang entah
ke mana.Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut gelisah tidak menentu
(Para Priyayi, 2001: 248).
Konflik
semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia.Kepergian Ngaisah begitu
mendadak bagi Sastrodarsono.Sebelum meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati
putrinya, Soemini, dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus,
dalam mendidik anak-anaknya.Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap penyakit
liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya.Kepergian Ngaisah begitu berat
dirasakan oleh Sastrodarsono.
d.
Tahap Klimaks (Climax)
Harimurti
menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis, calon istrinya
yang sedang hamil tua, dari penjara.Ternyata Gadis meninggal dunia karena
terlalu cepat melahirkan.Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir
di siang bolong.”Oh, Allah, Lee.Sudah nasibmu, Ngeer. Istrimu, Naak, istrimu
sudah tidak ada....”Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis, tidak bisa
apa-apa.Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya.Gadis melahirkan terlalu
cepat sepasang anak kembar laki dan perempuan (Para Priyayi, 2001: 299).
e.
Tahap Penyelesaian (Denouement)
Pada
tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian (fallingaction) dan
penyelesaian (denouement).Tahap peleraian, dapat dilihat ketika Sastrodarsono
(Embah Kakung) sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.Alur ini
merupakan penurunan dari keseluruhan cerita karena semua persoalan telah selesai.Sastrodarsono
sebagai tokoh utama dalam cerita ini diceritakan hampir menghadap Tuhan karena
sakit-sakitan.Sementara itu, tahap penyelesaian, yaitu dengan meninggalnya
tokoh Sastrodarsono. Suatu cara mengakhiri cerita yang cukup baik dengan
mematikan tokoh utamanya walaupun cerita masih dapat berlanjut dengan diganti
tokoh yang lain dan tentunya dengan cerita yang lain. Tiba-tiba kami mendapat
surat kilat khusus dari Pakde Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur
kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering menceracau juga.Bapak dan Ibu
segera memerintahkan saya dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde
Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah Kakung (Para Priyayi,
2001:301).
Berdasarkan
kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur longgar.Tergolong alur longgar
disebabkan peristiwa-peristiwa dalam cerita seolah-olah berdiri sendiri.Hal ini
dapat dilihat dengan terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu,
hubungan antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini
memiliki banyak pelaku. Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa,
Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan berhasil masuk
jenjang priayi.Cerita tersebut memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat dan
masuk akal.Akan tetapi, mungkin hanya orang sedikit yang melakukan usaha
seperti Sastrodarsono yang membangun keluarganya dari golongan petani desa
menjadi keluarga priayi yang mumpuni.Tegangan (suspense) dalam novel ini
terjadi ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya
menjemput Gadis dari penjara.Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini,
yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.Kabar
tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh keluarganya.Sementara itu,
akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending.Hal ini
disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup
bahagia dengan Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.
3. Penokohan
Dalam
novel Para Priyayi sendiri memiliki banyak tokoh.Berikut penokohan para tokoh
dalam novel ini.
a) Lantip
Tokoh
Lantip digambarkan sebagai tokoh yang rajin, taat, dan ulet. Selain itu, ia
juga cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ketika itu Lantip masih kecil
dan baru saja ikut Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat mengerjakan
tugas-tugasnya dengan baik. “Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet
belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah (Para Priyayi, 2001: 19).
Apalagi apabila dia menyaksikan sendiri akan keprigelan saya
mengerjakan
tugas-tugas di rumah Setenan itu. “Wah, sokur to, Le, kamu sudah bisa cak-cek
pegang apa-apa,” kata Embok (Para Priyayi, 2001:19).Lantip digambarkan sebagai
tokoh yang sabar.Ketika masuk sekolah pertama kali, Lantip diganggu
teman-temannya. Teman-temannya
berusaha
membuat Lantip marah, tetapi ia selalu ingat pesan emboknya bahwa jangan mudah
tersinggung dengan omongan bahkan ejekan teman. Pesan emboknya itu begitu kuat
sehingga menjadi rem yang sangat manjur dalam tubuh Lantip.Berapa kali sudah
saya kena coba kawan-kawan yang seperti biasanya selalu ingin menjajaki
kekuatan anak-anak baru.Tidak pernah saya ladeni. (Para Priyayi, 2001: 22).
Lantip
adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh keluarga besar Sastrodarsono
dan suka menolong.Sikap Lantip ini digambarkan secara dramatik.Ngaisah
memberikan pandangannya mengenai Lantip yang selalu dapat diandalkan
keluarganya.Setiap kali saya ingat anak ini tidak habisnya saya mengucap
syukur.Gusti Allah Maha Adil.Anak jadah ini tumbuh sebagai anak yang sungguh
baik dan amat berbakti kepada semua keluarga kami (Para Priyayi, 2001: 233).
b) Sastrodarsono
Sastrodarsono
digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua. Sifat
ini dapat dilihat ketika ia diberi nama tua. Dalam keluarga Jawa nama dibedakan
menjadi dua, yaitu nama ketika masih anak-anak dan nama tua. Sastrodarsono
menerima dengan kepatuhan ketika namanya yang Soedarsono diganti menjadi
Sastrodarsono. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh
untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan. “Karena itu sudah sepantasnya
kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak.
Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami
anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping
mengajar. Sastro rak artinya tulis to, Le?”Saya mengangguk, menerima dan
menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan.
“Inggih, Pak.” (Para Priyayi, 2001:35).
c) Siti Aisah/Dik Ngaisah
Ngaisah
adalah istri yang selalu setia kepada suaminya.Ngaisah sering digoda anak dan
menantunya tentang kebaktiannya yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami.
Akan tetapi, ia tidak pernah mengubah sikap terhadap suaminya.
Orang
jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan
jiwa.Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari
belahan yang satu lagi? (Para Priyayi, 2001: 207).
d) Noegroho
Noegroho
juga memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas.Sikap ini ditunjukkan ketika
anaknya yang pertama meninggal dunia karena tertembak tentara Belanda yang
sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah Noegroho ditunjukkan ketika ia
mengetahui bahwa Lantip diangkat anak
oleh
Hardojo.
“Iya,
iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu.
Kalian juga ya, Marie dan Tommi, ikhlaskan kamas-mu pergi” (Para Priyayi, 2001:
204).
…
kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak ikhlas, Le (Para Priyayi, 2001:
205).
Tapi,
mau bagaimana lagi. Lantip sudah diambil anak oleh Hardojo dan Hardojo sudah
minta wanti-wanti kepada kami semua agar Lantip kita perlakukan sama dengan
anak-anak kami. Dan juga Bapak dan Ibu sudah ikut merestui juga (Para Priyayi,
2001: 184).Noegroho sangat bertanggung jawab terhadap keluarga besarnya. Sikap
ini tampak ketika ia berusaha membebaskan Harimurti dan Gadis dari penjara saat
terlibat masalah G 30 S/PKI. Baginya,
keturunan
keluarga besar adalah suatu kewajiban. “Hari, anakku.Tidak ada yang lebih
menyenangkan bagi seorang pakde daripada dapat menolong kemenakannya.Ini
kewajiban trah, kewajiban keturunan keluarga besar, Le” (Para Priyayi, 2001:
285).
e) Hardojo
Hardojo
adalah orang yang cerdas.Keberhasilannya dalam meniti karier tidak terlepas
dari modal kualitas tokoh tersebut. Akan tetapi, ketika ia memilih jodoh
membuat seluruh anggota keluarga repot. Hardojo jatuh cinta dengan seorang
gadis yang berasal dari Solo bernama Nunuk, gadis itu beragama Katolik.Keduanya
saling mencintai, tetapi karena perbedaan keyakinan akhirnya mereka berdua
berpisah.
HARDOJO,
anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya yang paling cerdas dan mungkin
paling disenangi orang.Soemini sangat sayang kepadanya.Noegroho, yang cenderung
paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat dengan adiknya itu,
dan kami orangtuanya selalu bisa dibikin menuruti kemauannya.Begitu jatmika,
menarik dan micara, tangkas dengan kata-kata anak itu. Tetapi, kenapa justru
pada saat dia harus memilih jodoh dia selalu membuat repot seisi rumah
(ParaPriyayi, 2001: 93).
f) Harimurti
Harimurti
sangat sayang dengan orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap
menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya
kejujuran dan ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan.
Saya
diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan orang tua saya.Jelas kami
sudah berbeda pandangan. Dan perbedaan itu memang menandakan perbedaan
pandangan antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang terpenting adalah
gaya penampilan karena itu dipandang sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya
tidak.Bagi saya kejujuran dan ketulusan lebih penting.Gaya penampilan dapat
dikembangkan sambil berjalan (Para Priyayi, 2001: 268).
4. Latar
latar
novel Para Priyayi terdiri dari tiga unsur, tempat, waktu dan social. Hal
tersebut akan dijelaskan dibawah ini:
a) Latar Tempat
Novel
ini mempunyai banyak latar tempat, dikarenakan adanya pembagian episode dalam
novel ini.
Wanagalih
Wanagalih
merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah.Tempat ini merupakan pusat
berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono.Hal ini dapat dilihat dari
petikan di bawah ini.
“Keputusan
kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu
di Karangdompol, adalah juga atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang
didukung oleh mertua saya Romo Mukaram (Para Priyayi, 2001: 47)” dan satu lagi
petikan yang ada “Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami
akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah induk keluarga kami di
Jalan Setenan,(Para Priyayi, 2001: 181)”.
Wonogiri
Wonogiri
sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo.Hardojo berada di Wonogiri selama dua
tahun.Beliau juga mendapatkan istri yang
berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu cuplikannya.
“Saya
hanya sempat mengajar di HIS Wonogiri selama dua tahun (Para Priyayi, 2001:
149)”.
Solo
Solo
merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem
Mangkunegaran.Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan
pemuda. Oleh karena itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan
Mangkunegaran ia datangi.
“Begitulah
keputusan itu telah saya buat.Saya pindah bekerja ke Mangkunegaran.Saya diberi
waktu hingga akhir tahun pelajaran (ParaPriyayi, 2001: 159)”.
Yogyakarta
Yogyakarta
merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa
penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain
itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap
Mangkunegaran yang memihak Belanda.
“Kami
pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang menetap
di Yogya sejak pensiunnya di Semarang.Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan
Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu (Para
Priyayi, 2001: 189)”.
Jakarta
Jakarta
merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho.Ketika keluarga Noegroho terkena
musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah
untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan
tersebut.Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga
tinggal di Jakarta.
b) Latar Waktu
Latar
waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan
Jepang, awal Kemerdekaan hingga pemberontakan PKI.Tahun 1910 cerita ini
dimulai, Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priayi.Pada masa ini
adalah masa penjajahan Belanda.Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan
Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak
Sastrodarsono.Noegroho menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di
Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri asisten wedana.Cita-cita Sastrodarsono
untuk membangun keluarga priayi dapat dikatakan berhasil.
Untuk
mengupas hal tersebut dapat dilihat petikan yang ada sebagai berikut:
“Waktu
itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh
dikata masih lebat hutannya (Para Priyayi, 2001: 33)”.Hal ini adalah awal dari
cerita dalam novel ini, selanjutnya setelah Jepang kalah perang “Tahu-tahu
Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan dan dilucuti senjata kami (Para
Priyayi, 2001: 189)”.
“GADIS,
mau mentraktir saya malam itu.Hari itu, saya ingat benar, adalah tanggal 8 Mei
1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan
(Para Priyayi, 2001: 261)”.
c) Latar Sosial
Latar
sosial dalam novel ini adalah gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai
adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa
Timur.Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang berasal dari
Ngawi, Jawa Timur.Kebudayaan Jawa yang ditampilkan dalam novel ini begitu halus
dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya.Selain
itu, kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan dalam
novel ini.Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel
ini juga diceritakan mengenai kebudayaan di Surakarta.
5. Sudut Pandang
Sudut
pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang Pertama.Sudut
pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.Pengarang
bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya.Sudut
pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita.Pada
bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang
menjadi Sastrodarsono, dan seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik
karena pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.
3. Analisis
novel para priyayi menggunakan pendekatan didaktis
Pendekatan
didaktis adalah pendekatan yang berusahaa menemukan dan memahami gagasan,
tanggapan evaluative maupun sikap pengarang terhadaap kehidupan. Gagasan,
tanggapan maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis,
filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai moral yang mampu
memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Nilai
sosial:
Dalam
novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas antara golongan
priyayi dan masyarakat biasa,dimana seolah priyayi itu adalah cerminan tokoh
putih dalam suatu cerita sangat dihormati dan dipercayai secara berlebihan.
Nilai
religius:
Keluarga
Sudarsono yang menentang kedua anaknya menikah dengan pacarnya dikarenakan
perbedaan agama.
Nilai
budaya:1)Budaya menikah muda bagi perempuan
2)Perjodohan
3)Jodoh harus memiliki status yang
sama
4)Pembantu(lantip)duduk dibawah
Nilai
moral:1)Marie(cucu)hamil diluar nikah
2)Hari menghamili gadis(pacarnya)
3)Selingkuh dengan penyanyi dangdut
5. Analisis Novel Para Priyayi
Menggunakan Pendekatan Biografi
Biografi Umar Kayam
UMAR KAYAM adalah sastrawan yang sosiolog, atau
sosiolog yang sastrawan. Ayah Umar Kayam adalah seorang guruHollands Inlands
School(HIS) .Lahir 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Menempuhpendidikan di
HIS Mangkunegoro Surakarta, di mana ayahnya juga mengajardi sana. Di sekolah
tersebut dia berteman akrab dengan Kliwir panggilanakrab Wiratmo Sukito, salah
seorang tokoh MANIKEBU Gelanggang Tahun60-an. Setelah itu, dia melanjutkan
sekolah di MULO (setingkat dengan SMP),dan melanjutkan SMA bagian bahasa
(bagian A) di Yogyakarta. Lulus dariSMA tahun 1951, Umar Kayam atau biasa
dipanggil UK melanjutkanpendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta.Pada tahun 1955 UK melanjutkan studinya keUniversity School of
Education,USA (1963). Setelah mendapatkan gelar Master of Education di
Univerasitasini, UK melanjutkan program doktoralnya keCornell University,USA
(1965)dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental Coordination Problems
inIndonesian Community Development ”.Semasa kecil, UK sudah akrab sekali dengan
dunia membaca. Saat masihduduk di sekolah setingkat SD, UK terbiasa dengan
bacaan-bacaan dongeng,dan pelajaran-pelajaran yang terkait cerita dalam bahasa
Belanda. Saatduduk di MULO—setingkat dengan SMP—UK sudah akrab sekali dengan
Gonewith the Wind serta novel-novel yang lain. Pada saat SMA, beberapa diantara
teman-temannya saat itu adalah Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef yang kelak
(kedua-duanya) menjadi Menteri Pendidikan. UK mengelola majalah dinding sebagai
medan untuk mengeksplorasi karya-karya sastranya. Di tempat ini pula, UK
membincangkan karya sastra Tagore,Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan
Karya-karya yang lain. Cerpen“Bunga Anyelir” merupakan cerpen pertama UK yang
dimuat di sebuahmajalah di Jakarta dan itu ditulisnya saat masih duduk dibangku
SMA.Saat Mahasiswa, UK aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan
tentusaja dunia kesastraan saat itu.Salah satunya, UK adalah
perintis“Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang menyajikan
berbagaiinformasi kegiatan mahasiswa.Selain itu, UK juga mendirikan
majalahminggu dan berbagai kegiatan yang lain, terutama terkait
dengankebudayaan.Selanjutnya, saat kuliah di USA, UK juga aktif menulis karya
sastra yangdikirimkan ke berbagai media di Indonesia. Hingga kemudian,
sepulangnyadi Indonesia, UK ditunjuk sebagai Direktur Jendral Radio, Televisi
dan FilmDepartemen Penerangan RI (1966-1969).Pada tahun 1969, UK terpilih untuk
menjabat sebagai ketua Dewan KesenianJakarta. Dan pada saat yang bersamaan, UK
juga menjabat sebagai RektorLembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (Sekarang IKJ)
dan juga menjabatsebagai anggotaBoard of Trustee International Broadcast
Institute yangbermarkas di Roma.Selain sebagai seorang sastrawan, UK juga
merupakan pemain Film. Tercatat, dia pernah menjadi salah satu pemain dalam
Film Karmila yangdisutradarai oleh Ami Priyono.UK juga pernah memerankan sosok
BungKarno dalam Film G-30-S/PKI yang disutradarai Arifin C Noor. Berperan
sebagai Pak Bei dalam Canting, Senetron yang diangkat dari Novel
ArswendoAtmowiloto.Kariernya sebagai akademisi dan iluwan, UK tercatatat pernah
menjabatsebagai Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin,Ujung
Pandang (1975-1976), Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), Dosen
Pasca Sarjana, Jusrusan Sastra Indonesia Universitas SanataDharma, Yogyakarta
(1998-2001). Dan pada tahun 1989, dia mendapatpengukuhan sebagai Guru Besar di
UGM.UK menikah dengan Rooslina Hanoum dan dikaruniai dua orang putri:
SitaAripurnami dan Wulan Anggraini.
6.
Analisis Novel Para Priyayi
Menggunakan Pendekatan Masyarakat
Hingga
zaman sekarang ini di lingkungan masyarakat pedesaan masih sering ditemukan
adanya sekelompok orang yang disebut priyayi.Merekalah yang memimpin, mengatur,
memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat.Semua orang yang duduk dalam jabatan
pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan
digolongkan kaum priyayi.Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis
keturunan dengan raja atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi
atau para adik raja).Akan tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa
dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan,
maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan (Sartono Kartidirdjo, 1987).
Para
priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan wong cilik
hanya menjadi pekerja kasar. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar
balikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik antara kaum
priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi
digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong
cilik. Namun novel ini juga memiliki beberapa segi negatif yaitu, adanya
mentalitas berorientasi kepada atasan, yang hanya menunggu perintah atasan,
patuh dan loyal secara berlebihan sampai merendahan diri, dan mengutamakan
kesenangan atasan. Selain itu juga ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti
menjunjung tinggi keharuman nama baik orang tua dan menyembunyikan rapi-rapi
aib orang tua.
Sebenarnya
ajaran moral yang terkandung di dalamnya bagus tetapi, itu akan menjadi buruk
bila seorang anak atau bawahan harus selalu mendiamkan atau menutupi keburukan
yang dilakukan orang tua atau atasannya. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam
juga dengan sangat jelas menunjukkan adanya mentalitas dari kaum priyayi yang
menganggap bahwa dalam mencari rezeki hendaknya secukupnya saja, tidak perlu lebih
dari cukup karena akan membuat manusia menjadi serakah. Keburukan mentalitas
ini adalah pada upaya pengendoran semangat bekerja.Lebih-lebih pada masa
sekarang ketika persaingan bebas telah menjadi jalan untuk hidup umat manusia
di seluruh penjuru dunia. Kalau ingin survive dalam hidup harus memiliki
keunggulan. Kalau ingin memiliki keunggulan harus berusaha sekuat tenaga
melebihi orang lain. Dari novel ini
penulis ingin menunjukan bahwa peranan kaum priyayi yang penting adalah
pembangun relasi antar status, agen perubahan, penjaga etika dan pemimpin
spiritual.
7.
Analisis Novel Para Priyayi
Menggunakan Pendekatan Pemikiran
Dari
sudut ektrinsik pembangun karya sastra tidak luput mengupas tuntas mengenai
jalan pikiran pengarangnya.Karya sastra dan pemikiran pengarang memiliki
hubungan yang sangat erat sekali.Sastra merupakan implementasi atau pun
translitasi pemikiran pengarang.Pengarang menuangkan gagasan, ide, imajinasi
melaui sebuah tulisan indah karya sastra.Begitu pula yang ada pada novel Para Priyayi.
Dengan
bahasa tulis yang baik novel para priyayi cukup menggambarkan bagaimana pemikiran umar kayam mengenai
problema kemasyarakatan yang timbul saat itu. Seakan dalam benak pengarang
terpikirkan sebuah rumusan masalah yang kompleks
1. Golongan
priyanyi yang sangat di hormati dan di junjung tinggi apakah selamanya akan
sepeti itu?
2. Bagaimana
jika golngan prinyayi yang agung pada akhirnya sangat rusak moralnya?
3. Lantas
siapa yang pantas disebut priyayi?
4. Apa
arti sejati seorang priyayi?
Melalui
proses pemikiran yang cukup panjang pengarang membangun cerita dengan berbagai
pemaparan cerita. Tingkat intlektual dan pengimajinasian pengarang juga sangat
berpengaruh dalam membangun kesatuan cerita yang utuh.
Diceritakan
bahwa Sastrodarsono adalah seorang priyanyi yang agung di desa wanagalih.Kipprahnya
dalam dunia pendidikan membuatnya masuk dalam golongan para priyayi.Beliau
sangat dihormati dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya dengan
panggilan Doro Guru Kakung.Begitu pula dengan anak-anaknya, mereka semua tumbuh
menjadi priyayi agung dalam kehidupan yang serba kecukupan. Disisi lain Lantip
seorang anak kecil miskin tak berbapak hidup serba kekurangan apa adanya. Ia
tinggal di desa Wonowalas yang jauh sekali dari pusat kota. Karena hidupnya
yang serba kurangan terbentuklah pribadi yang rajin, patuh dan rendah hati.Kebaikan
Sastrodarsono membuat Lantip dapan menikmati dunia agung para priyayi, tanpa
meninggalkan sikap rendah hatinya. Melalui likuan hidup yang panjang Sastrodarsono berhasil mendidik anak-anak dan
orang yang ikut dengannya dengan baik. Namun seiring perkembangan zaman,
keberhasilan Sastrodarsono mendidik anak-anaknya tak bisa diikuti oleh
anak-anaknya.Para cucu Sastrodarsono moralnya jatuh mengikuti pergaulan bebas
zaman modern.Satu persatu mereka terjerat oleh kemewahan dan kenikmatan dunia
hingga lalai akan jati dirinya golongan priyayi yang dihormati masyarakat. Pada
akhirnya tak ada satupun anak atupun cucu Sastrdarsono yang mau tinggal dan
menetap di desa Wanagalih sebagai seorang priyayi.Mereka merasa telah menodai
citra priyayi.Lalu lantip lah yang mewarisi eksistensi priyayi desa Wanagalih.
Eksistensi
serang priyayi telah jatuh termakan zaman.Hal itu yang diangkat umar kayam
dalam novelnya para priyayi.Golongan priyayi adalah golongan orang
berpendidikan yang mengayomi masyarakat, menjadi panutan atau contoh dalam
masyarakat.Jika priyayi melanggar tindak asusila bagaimana dengan
masyarakatnya?
Oleh
karena itu di ceritakan dalam novel para priyayi, keturunan asli sastrodarsono
yang merupakan darah murni priyayi tidak mau meneruskan kedudukan bapaknya
karena meraka merasa malu dengan kegagalannya menangatur diri sendiri.Mereka
menyerahkan kedudukan priyayi agung wanagalih pada lantip karena diantara
mereka lantiplah yang mampu membentengi diri sehingga tidak terjerumus pengaruh
negatif zaman modern.
Umar
kayam mengungkapkan gagasan, pemikiran atau pendapatnya mengenai golongan
priyayi melalui novel tersebut.Didalamnya dikemas apik dalam bentuk cerita
novel dengan mengimajinasian yang pas. Dengan begitu pembaca dapat menyimpulkan
sendiri apa arti priyayi sebenarnya.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Analisis suatu karya sastra dapat menggunakan
berbagai macam pendekatan.Pendekatan digunakan untuk memperdalam pemahaman tentang
aparesiasi sebuah karya sastra prosa.
Saran
Penghargan terhadap sebuah karya itu penting karena
dengan begitu kita akan lebih memahami, menghayati dan menilai sebuah karya
sastra prosa secara penuh dan menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar