BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui
pandangan terhadap lingkungan sosial yang beraada di sekelilingnya dengan
menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang
terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang
lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang
saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah
gagasan yang ada dalam pikirannya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel
adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya.
Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia
yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga nampak
seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan karya
sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara
langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur intrinsik ini akan
menjadikan sebuah novel yang sangat bagus. Kemudian, untuk menghasilkan novel
yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa merupakan sarana atau
media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarang yang akan dituangkan
sebuah karya yaitu salah satunya novel tersebut.
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam
sebuah karya sastra. Berdasarkan yang diungkapkan Nurgiyantoro (2002: 272)
bahasa dalam seni sastra ini dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya
merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih untuk
dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, maka
bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra.
Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur
keindahan. Keindahan adalah aspek dari estetika. Pendapat tersebut sejalan
dengan pendapat Zulfahnur, 2 dkk (1996: 9), bahwa sastra merupakan karya seni
yang berunsur keindahan. Keindahan dalam karya seni sastra dibangun oleh seni
kata, dan seni kata atau seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang
terwujud dari ekspresi jiwa. Terkait dengan pernyataan tersebut, maka membaca
sebuah karya sastra atau buku akan menarik apabila informasi yang diungkapkan
penulis disajikan dengan bahasa yang mengandung nilai estetik. Sebuah buku sastra
atau bacaan yang mengandung nilai estetik memang dapat membuat pembaca lebih
bersemangat dan tertarik untuk membacanya. Apalagi bila penulis menyajikannya
dengan gaya bahasa unik dan menarik.
Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur
yang menarik dalam sebuah bacaan. Setiap penulis mempunyai gaya yang
berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang
dihasilkan nantinya mempunyai gaya penulisan yang dipengaruhi oleh penulisnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa, watak seorang penulis sangat mempengaruhi
sebuah karya yang ditulisnya. Hal ini selaras dengan pendapat Pratikno (1984:
50) bahwa sifat, tabiat atau watak seseorang itu berbeda-beda.
Sang Pemimpi diterbitkan pertama kali pada Juli
2006. Sejak kemunculan novel Sang Pemimpi mendapatkan tanggapan positif dari
penikmat sastra. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi
menjadikan novel tersebut masuk dalam jajaran novel psikologi islami pembangun
jiwa. Andrea Hirata telah membuat lompatan langkah yang gemilang untuk
mengikuti jejak sang legenda Buya Hamka, berkarya dan mempunyai fenomena
(Badrut Taman Gafas, 2005). Melalui novel kontemporernya yang diperkaya dengan
muatan budaya yang Islami, Andrea Hirata seolah mengulang kesuksesan sang
pujangga Buya Hamka yang karya-karyanya popular hingga ke mancanegara seperti
“Merantau Ke Deli”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, dan ”Tenggelamnya Kapal Van
der Wijck”. Meskipun nilai yang mendasari novel tersebut bersumber dari Islam,
berbagai kalangan kaum beragama dan berkepercayaan dapat menerimanya tanpa ada
perasaan terancam.
Cerita novel
Sang Pemimpi diperoleh dari mengeksplorasi kisah persahabatan dan pendidikan di
Indonesia. Ia mengemas novel Sang Pemimpi 3 dengan bahasa yang sederhana
imajinatif, namun tetap memperhatikan kualitas isi. Membaca novel Sang Pemimpi
membuat pembaca seolah-olah melihat potret nyata kehidupan masyarakat
Indonesia. Hal itu seperti tanggapan salah seorang penikmat novel Sang Pemimpi,
yaitu Harnowo (editor senior dan penulis buku Mengikat Makna) ia mengatakan
bahwa, “kata-kata Andrea berhasil „menyihir‟ jiwaku. Dia dapat dikatakan
mempunyai kemampuan mengolah kata sehingga memesona yang membacanya” (Sang
Pemimpi: sampul depan).
Meskipun kisah
yang terjadi dalam novel Sang Pemimpi sudah terjadi sangat lama, akan tetapi
pada kenyataannya kisah Sang Pemimpi masih ada di zaman sekarang. Banyak
pengamat sastra yang memberikan penilaian berkaitan dengan suksesnya novel Sang
Pemimpi. Suksesnya novel Sang Pemimpi disebabkan novel tersebut muncul pada
saat yang tepat yaitu pada waktu masyarakat khususnya masyarakat yang merasa
mengalami pendidikan yang sama seperti beberapa tokoh yang terdapat dalam novel
tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Sapardi
Djoko Darmono, seorang sastrawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI Ia
menyatakan Sang Pemimpi merupakan “Ramuan pengalaman dan imajinasi yang
menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara
gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan” (Ruktin Handayani: 2008).
Isi novel Sang Pemimpi menegaskan bahwa keadaan
ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang dalam meraih cita-cita dan berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Kemiskinan adalah penyakit
sosial yang berada dalam ruang lingkup materi sehingga tidak berkaitan dengan
kemampuan otak seseorang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
berminat untuk menganalisis novel Sang Pemimpi. Analisis terhadap novel Sang
Pemimpi peneliti membatasi pada segi gaya bahasa dan nilai pendidikan.
Berdasarkan segi gaya bahasa karena setelah membaca novel Sang Pemimpi,
peneliti menemukan ada banyak gaya yang digunakan pengarang dalam menyampaikan
kisah Sang Pemimpi dan banyak pengamat sastra yang mengakui kehebatan Andrea
Hirata dalam menggunakan gaya bahasa. 4
Alasan dipilih dari segi nilai pendidikan karena
novel Sang Pemimpi diketahui banyak memberikan inspirasi bagi pembaca, hal itu
berarti ada nilai-nilai positif yang dapat diambil dan direalisasikan oleh
pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya dalam hal pendidikan.
Pradopo (1994: 94) mengungkapkan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah yang
langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai
moral, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra
sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang
langsung sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua. Begitulah
paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung
disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula, ialah memberi
pendidikan dan nasihat kepada pembaca. Dalam memahami nilai-nilai tersebut
perlu adanya apresiasi terhadap karya prosa. Apresiasi prosa
itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin
terhadap karya sastra prosa itu.Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya
penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah
unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita
terhadap karya sastra itu. Untuk menganalisias karya prosa kita haruslah bisa
“membongkar” dan menerangkan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan
“kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat
diharapkan bersifat tepat dan objcktif.
Dalam
mengapresiasi karya prosa digunakan beberapa pendekatan dalam, yaitu:
o Pendekatan emotif,
o Pendekatan analitis,
o Pendekatan historis,
o Pendekatan sosiopsikologis, dan
o
Pendekatan didaktis.
Jika
mengacu pada studi teori sastra ada empat pendekatan
o
Sastra dan masyarakat
o
Sastra dan biografi
o
Sastra dan psikologi
o
Sastra dan pemikiran
B. Rumusan
Masalah
Bagaimana
analisis novel Sang Pemimpi degan berbagai macam pendekatan Emotif, analitis, sosiopsikologi, didaktis, dan biografi
?
C. Tujuan
Untuk memahami, menghayati dan
menilai sebagai bentuk apresiasi novel Sang Pemimpi.
D.
Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh ini
dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang
pembelajaran sastra yang dikaji melalui beberapa pendekatan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
Sinopsis
Novel Sang Pemimpi
Tiga
orang pemimpi. Setelah tamat SMP, melanjutkan ke SMA bukan main, di sinilah
perjuangan dan mimpi ketiga pemberani ini dimulai. Ikal, salah satu dari
anggota Laskar Pelangi, Arai, saudara sepupu Arai yang sudah yatim piatu sejak
SD dan tinggal di ruamh Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah
danIbu Ikal, dan Jimbron, anak angkat seorang pendeta karena yatim piatu juga
sejak kecil. Namun pendeta yang sangat baik dan tidak memaksakan keyakinan
Jimbron, malah mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat.
Arai dan Ikal
begitu pintar dalam sekolahnya, sedangkan Jimbron, si penggemar kuda ini
biasa-biasa saja. Malah menduduki rangking 78 dari 160 siswa. Sedangkan Ikal
dan Arai selalu menjadi lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi, karena
bagi Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi.
Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke Sarbonne
Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Beia, guru seninya, yang selalu
meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras menjadi kuli ngambat mulai pukul
dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan
ketiga pemuda itu. Mati-matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun
kalau dilogika, tabungan mereka tidak akan cukup untuk sampi ke sana. Tapi jiwa
optimisme Arai tak terbantahkan.
Selesai
SMA, Arai dan Ikal merantau ke Jawa, Bogor tepatnya. Sedangkan Jimbron lebih
memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di Belitong. Jimbron menghadiahkan
kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai.
Dia yakin kalau Arai dan Ikal sampai di Perancis, maka jiwa Jimbron pun akan
selalu bersama mereka. Berbula-bulan terkatung-katung di Bogor, mencari
pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah banyak
pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, Ikal diterima menjadi tukang sortir
(tukang Pos), dan Arai memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Tahun
berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi UI. Dan setelah lulus, ada
lowongan untuk mendapatkan biasiswa S2 ke Eropa. Beribu-ribu pesaing berhasil
ia singkirkan dan akhrinya sampailah pada pertandingan untuk memperebutkan 15
besar.
Saat
wawancara tiba, tidak disangka, profesor pengujinya begitu terpukau dengan
proposal riset yang diajukan Ikal, meskipun hanya berlatar belakang sarjana
Ekonomi yang masih bekerja sebagai tukang sortir, tulisannya begitu hebat.
Akhirnya setelah wawancara selesai, siapa yang menyangka, kejutan yang luar
biasa. Arai pun ikut dalam wawancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita,
akhirnya mereka berdua dipertemukan dalam suatu forum yang begitu indah dan
terhormat. Begitulah Arai, selalu penuh dengan kejutan. Semua ini sudah
direncanaknnya bertahun-thaun. Ternyata dia kuliah di Universitas Mulawarman
dan mengambil jurusan Biologi. Tidak kalah dengan Ikal, proposal risetnya juga
begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru.
Akhirnya sampai juga mereka
pulang kampung ke Belitong. Ketika ada surat datang, mereka berdebar-debar
membuka isinya. Pengumuman penerima Beasiswa ke Eropa. Arai begitu sedih karena
dia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat ingin membuka kabar tu bersama
orang yang sanag dia rindukan. Kegelisahan dimulai. Tidak kuasa mengetahui isi
dari surat itu. Akhirnya Ikal diteima di Perguruan tinggi,
Sarbone Pernacis. Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, inilah
jawaban dari mimpi-mimpi mereka. Kedua sang pemimpi ini diterima di Universitas
yang sama. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Disinilah perjuanagan dari
mimpi itu dimulai, dan siap melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.
1.
Analisis
Novel Sang Pemimpi dengan Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra
adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi
atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan
penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau
gagasanyang lucu dan menarik.
Prinsip-prinsip
dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa
cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat
pembaca untuk menikmati sehingga mampu menemukan unsure-unsur keindahan maupun
kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain
berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan
masalah gaya bahasa seperti metafora, simile, maupun penataan setting yang
mampu menghasilkan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat
berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang
lucu dan menarik sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kepada
pembaca.
Di
sini saya akan menyampaikan mengenai keindahan bahasa dalam novel Sang Pemimpi.
Berikut ini adalah uraian mengenai keindahan bahasa dalam novel Sang Pemimpi
melalui gaya bahasa.
a. Hiberbola
Hiperbola adalah
ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan baik
jumlah, ukuran, atau sifatnya. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat
beberapa data gaya bahasa hiperbola diantaranya yaitu sebagai berikut.
1) Dangdut india dari kaset yang
terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu (SP, 3). Kalimat
tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
pemutaran kaset apapun tidak ada yang diputar meliuk-liuk, apalagi sampai pilu,
jadi kalimat tersebut terlalu melebih-lebihkan.
2) Pak Mustar merenggut kerah
bajuku, menyentakkan dengan keras sehingga seluruh kancing bajuku putus.
Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta
dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas! (SP, 12). Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu
lelebih-lebihkan. Seakan-akan Pak Mustar adalah sosok yang sangat kejam sebagai
guru dengan menganiaya Ikal sampai meronta-ronta.
3) Suara Pak Mustar membahana
(SP, 13). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena kata “membahana” seakan-akan melebih-lebihkan suara Pak Mustar
yang sangat keras.
4) Kulirik sejenak
jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak-teriak
histeris membelaku, hanya membelaku sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang
lainnya membekap dada,…(SP, 13). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan sikap manusia yang
berteriak histeris, melonjak-lonjak dengan barisan yang panjang. Kata “ayu” juga
seakan-akan melambangkan kecantikan manusia, padahal yang digambarkan adalah
barisan panjang dan rapi.
5) Wajah kami seketika
memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak (SP, 18). Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu
melebih-lebihkan ketika mencium bau amis wajahnya berubah memerah.
6) Terpanaku mengkilat
mengancam Arai. (SP, 18). Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena terlalu melebih-lebihkan, karena kata “mengkilat”
tidak akan bisa mengancam manusia.
7)
Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan
berat tak kurang dari 130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung.
Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan nafas perih menyayat-nyayat
rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya
sebatang balok es. Aku mengigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau
anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.
Tatapan nanar bola mata
mayat-mayat ikan kenang kayang terbelalak dan kelabu membuatku gugup. (SP,
19). Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
terlalu melebih-lebihkan. Kalimat “tulang-tulangku melengkung”, tidak
mungkin pada dunia nyata tulang manusia bisa melengkung, kalimat selanjutnya
juga menjelaskan tulang bergeser itu juga tidak mungkin. Kata “menyayat-nyayat”
dan “teriris” seakan-akan dibesar-besarkan.
8) Aku merasa takjub
dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujan bola matanya, menyusupi
lensa, selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya,
ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya. (SP, 21). Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “menghujan” terlalu
membesar-besarkan karena seakan-akan “tatapan” adalah benda hidup yang
dapat menuysup ke dalam bagian mata.
9) Lamunanku terhempas
di atas meja batu pualam putih yang panjang. (SP, 21). Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “lamunanku” seakan-akan
adalah benda hidup yang dapat terhempas di atas meja.
10) Jantungku berdetak
satu per satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. (SP, 22). Kalimat
di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena kata “jantungku” terlalu
membesar-besarkan seperti benda hdup yang dapat mengikuti langkah manusia.
11) Ratusan pembeli
terpengarah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang
panjang: tak tertuju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi.
(SP, 22). Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena kalimat “tak tertuju, berminyak-minyak, busuk belepotan udang rebon
basi” terlalu membesar-besarkan hal tersebut menggambarkan wajah tiga anak
yang sangat capek karena selesai bekerja.
b. Metonomia
Metonomia adalah
penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu
yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat 3 data gaya bahasa
metonomia, yaitu sebagai berikut.
1) Khawatir
jagoannya ditangkap garong (SP, 13).. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa
metonomia karena kata “garong” dipakai untuk mengganti atribut objek
yaitu Pak Mustar yang terkenal sangat keras,galak, dan disiplin tinggi.
2) Pangeran
Mustika Raja Brana dan rombongannya dibawa ke ranch capo di pinggir kampong (SP, 173). Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “Pangeran Mustika
Raja Brana” dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu seekor kuda dari
aria yang diberikan kepada Jimbron.
3) Berdebar-debar
Jimbron meletakkan kakinya di pijakan sangga wedi untuk menaiki pangeran (SP, 179). Kalimat di
atas dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “pangeran” dipakai
untuk mengganti atribut objek yaiitu seekor kuda dengan julukan lengkap
Pangeran Mustika Raja Brana.
c.
Personifikasi
Personifikasi
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. hasil
analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat beberapa data gaya bahasa
personifikasi, yaitu sebagai berikut.
1) Dataran ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkkan
tenaga dahsyat kataklismik. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa
personifikasi karena menganggap dataran bisa mencuat dan keluar dari kulit
bumi, jadi seakan-akan dataran bisa keluar sendiri seperti benda hidup.
2) Sedangkan di belahan yang lain, semburat ultraviolet menari-nari di
atas permukaan laut yang bisu berlapis minyak .Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena semburat ultraviolet
diibaratkan seperti benda hidup yang bisa menari-nari di atas permukaan laut,
padahl kalimat tersebut menjelaskan bahwa menggambarkan sinar ultraviolet yang
memancarkan sinarnya.
3) Jantungku berayun-ayun
seumpama punchbag yang dihantam beruntun beruntun seorang petinju. Kalimat
tersebut bisa dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena kata “jantungku”
diibaratkan seperti benda hidup yang bisa berayun-ayun, padahal kata
berayun-ayun tersebut menggambarkan keadaan jantung yang berdetak kencang.
4) Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti
batangan baja stainless, dan menciptakan pedang cahaya, putih
berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap
yang pengap. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
personifikasi karena “pancaran matahari” diibaratkan sebagai benda
hidup, yaitu bisa menikam lubang-lubang dinding papan, padahal kalimat tersebut
menggambarkan terik matahari yang sangat panas.
5) Mendung menutup separuh langit. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena “mendung” di atas
diibaratkan sebagai benda idup yang dapat menutup langit, padahal kalimat
tersebut menjelaskan bahwa dengan adanya mendung maka separoh langit terlihat
gelap.
6) Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja
hantu (SP, 8). Kata “kapitalis” diibaratkan sebagai benda hidup
yang bisa meliuk-liuk, padahal kata “kapitalis” di atas menggambarkan
kata sifat.
7)
Maka muncullah bongkahan jambul berbinar-binar (SP, 11). Kata “jambul”
diibaratkan sebagai benda hidup yang bisa berbinar-binar.
8) Sayangnya,
gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-tulang. (SP, 12). Kata“penglihatan” diibaratkan
sebagai benda hidup yang mampu menembus tulang-tulang.
9) Suara peluit
menjerit-jerit (SP, 14). Kata “suara” diibaratkan benda hidup yang
bisa berteriak-teriak.
10) Otakku
berputar cepat mengurai satu persatu perasaan cemas (SP, 18). Kata “otakku”
diibaratkan hidup yang bisa berputar, tetati kalimat di atas menggambarkan
bahwa menggambarkan pikiran yang tidak karuan dan sangat cemas.
d. Metafora
Metafora adalah
gaya bahasa perbandingan yang implisit--jadi tanpa kata atau sebagai—dua hal
yang berbeda (Moeliono, 1989: 175). Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat
4 data gaya bahasa metafora, yaitu sebagai berikut.
1) Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena sorot mata dibandingkan
dengan dinginnya es. Maksud kalimat di atas gerik-gerik dan sorot matanya
sangat kaku dan dingin.
2) Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki
satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa metafora karena sikap Pak Mustar tiba-tiba berubah menjadi
monster yaitu dengan wajah yang mengerikan, karena justru anak lelakinya malah
tidak diterima di SMA Negeri itu.
3) …Pak
Mustar menjadi seorang guru bertangan besi. Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa metafora karena Pak Mustar dicap menjadi guru yang
bertangan besi, yaitu beliau sangat keras dan disiplin dalam mengajari
siswanya.
4) Hari ini seperti hari Columbus menemukan Amerika. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena pada hari itu merupakan hari
yang bersejarah, ibaratnya seperti Columbus menemukan Amerika.
e. Simile
Simile adalah
perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Hasil analisis dalam novel Sang Pemimpi terdapat
beberapa data gaya bahasa simile, yaitu sebagai berikut.
1) Di satu bagian
langit, matahari rendah memantulkan uanp lengket yang terjebak ditudungi
cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi . dikategorikan sebagai gaya bahasa simile
karena penggambaran langit pada kalimat di atas sudah sangat jelas karena
penggambaran tersebut keadaannya adalah “gelap gulita”
2) Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Kalimat
di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran dahi yang
berkilat-kilat itu karena kukuh basah oleh keringat.
3) Ia westerling berwajah tirus manis. Kalimat di atas dikategorikan
sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran wajahnya sangat jelas, yaitu
berwajah tirus manis.
4) Pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Kalimat di
atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran SMA Negeri tersebut
adalah sekolah yang sangat kaya, oleh karena itu kalimat di atas memakai kata “kaya
raya”.
5) Ia petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang. Kalimat
di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena penggambaran
petantang-petenteng mondar mandirnya mempunyai perbandingan yang implisist
yaitu hilir mudik.
6) Meskipun
perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan
berjiwa seluas langit (SP, 33). Artinya yaitu berjiwa seluas langit yang
mempunyai arti sabar yang luar biasa.
7) Surainya laksana
jubah putih yang mengibas mengikuti tubuhnya yang menggelinjang-gelinjang (SP,
172). Kalimat tersebut menggambarkan surainya yang mengibas seperti jubah.
8) Kini hatinya yang
lugu itu hampa, hampa seperti tong-tong aspal tempatnya berdiri (SP, 174).
Arti dari kalimat di atas yaitu hatinya
yang lugu itu hampa hal tersebut menggambarkan suasana hati yang kesepian.
9) Keajaiban yang
mengejutkan seperti jutaan bintang meledak, …(SP, 176-177). Kalimat di
atas artinya yaitu melukiskan keajaiban dengan mengibaratkan jutaan bintang
yang meledak.
10) Kaki-kakinya kukuh besar
seperti pilar (SP, 171). Kalimat di atas artinya yaitu kukuh besar
seperti pilar yang menggambarkan keadaan kaki-kakinya.
11) …wajah beliau sembap dan matanya
semerah buah saga. (SP, 26). Kalimat di atas dikategorikan sebagai bahasa
simile karena mempunyai bandingan yang implisit yaitu semerah buah saga untuk
menggambarkan wajahnya.
f.
Asosiasi
Asosiasi adalah
gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan
lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Hasil analisis dalam novel Sang
Pemimpi ada beberapa gaya
bahasa asosiasi, yaitu sebagai berikut.
1) …, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur
ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Kalimat di atas
dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan di laut tersebut
telah dilukiskan secara nyata, yaitu diibaratkan oleh reign of fire yang
artinya zaman api.
2) Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan wajah
jimbron diibaratkan seperti buah mentega yaitu berbentuk bulat dan merona.
3) …sebab tak seorangpun ingin memedulikan laki-laki yang berbau seperti
ikan pari. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi
karena keadaan laki-laki tersebut yang sangat bau diibaratkan seperti bau ikan
pari.
4) Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar,…. Kalimat di
atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena keadaan yang sangat
cepat. Oleh karena itu, diibaratkan seperti terkaman macan akar.
5) Mulut mungilnya
yang dari tadi berkicau kini terkunci lalu pelan-pelan menganga seperti ikan
mas koki . Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena
keadaan mulut mungil yang menganga dapat diibaratkan seperti ikan mas koki.
Novel Sang Pemimpi juga dapat
menghidupkan isi cerita di dalamnya lebih hidup dan dapat menambah variasi
keindahan serta menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat
pembaca bosan melalui gaya bahasanya. Dari gaya bahasa personifikasi yang
dipakai oleh Andrea Hirata juga akan menghasilkan nilai didik yang sangat
bermanfaat bagi para pembaca.
2.
Analisis
Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Analitis
Struktur Novel
Sang Pemimpi
1. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra (Sudjiman, 1994:54).
Setiap
novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema.Tema sendiri
merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin dapat
diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang
banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan
beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Novel ini memiliki tema tentang
persahabatan dan perjuangan dalam mengarungi kehidupan serta kepercayaan
terhadap kekuatan sebuah mimpi atau pengharapan. Hal
itu dapat dibuktikan dari penceritaanper kalimatnya dimana penulis berusaha
menggambarkanbegitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawaseseorang
menerjang kerasnya kehidupan dan batas kemustahilan.
2.
Alur
Staton (1965:14) mengemukakan alur adalah cerita yang
berisi kejadian, tetapi kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab – akibat,
peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Alur
adalah tulang punggung dari sebuah cerita karena alur merupakan jalannya
cerita.
Alur
dalam novel ini menggunakan alur gabungan (alur maju dan mundur). Alur maju
ketika pengarang menceritakan dari mulaikecil sampai dewasa dan alur mundur
ketika menceritakanperistiwa waktu kecil pada saat sekarang/dewasa.
3.
Penokohan
Sebagain tokoh – tokoh karya fiksi adalah tokoh – tokoh
rekaan yang dimaksud tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami cerita
kendati berupa rekan atau hasil imajinasi pengarang, masalah penokohan tidak
bisa dipisahkan dari suatu karya sastra dan merupakan suatu bagian yang penting
dalam membangun sebuah cerita (Nurgiyantoro,1994:66).
A.
Tokoh Utama
1. Ikal adalah anak
kampung yang miskin.
2. Arai adalah tokoh
sentral dalam buku ini. Menjadi saudara angkat Ikal ketika kelas 3 SD saat
ayahnya (satu-satunya anggota keluarga yang tersisa) meninggal dunia. Seseorang
yang mampu melihat keindahan di balik sesuatu, sangat optimis dan selalu
melihat suatu peristiwa dari kaca mata yang positif. Arai adalah sosok yang
begitu spontan dan jenaka, seolah tak ada sesuatupun di dunia ini yang akan
membuatnya sedih dan patah semangat.
3.
Jimbron, anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang pastur Katolik bernama
Geovanny.Laki-laki berwajah bayi dan bertubuh subur ini sangat polos. Segala
hal tentang kuda adalah obsesinya, dan gagapnya berhubungan dengan sebuah
peristiwa tragis yang memilukan yang dia alami ketika masih SD , dulu ayahnya
sekarat di depan matanya maka ia membawa ayahnya dengan sepeda yang lajunya
lama sampai di puskesmas ayahnya meninggal di depan matanya dan waktu ditanyai
orang-orang di sudah terlanjur gagap karena terlalu banyak menangis sampai
tersendat-sendat ia selalu berfikir jika saja waktu itu dia menaiki kuda pasti
ayahnya tertolong. Jimbron adalah penyeimbang di antara Arai dan Ikal,
kepolosan dan ketulusannya adalah sumber simpati dan kasih sayang dalam diri
keduanya untuk menjaga dan melindunginya.
B. Tokoh Lain
1.
Pendeta Geovanny, ia adalah seorang Katolik yang mengasuh Jimbron selepas
kepergian kedua orangtua Jimbron. Meskipun berbeda agama dengan Jimbron, beliau
tidak memaksakan Jimbron untuk turut menjadi umat Katolik. Bahkan beliau tidak
pernah terlambat mengantar Jimbron pergi ke masjid untuk mengaji. Meski disebut
Pendeta, Geovanny yang berdarah Italia ini adalah seorang Pastor.
2. Pak Mustar M.
Djai'din. BA. adalah salah satu pendiri SMA Bukan Main. Ia adalah wakil kepala
sekolah SMA Bukan Main, seorang yang baik dan cukup sabar namun berubah menjadi
tangan besi ketika anaknya sendiri justru tidak diterima masuk ke SMA tersebut
karena NEMnya kurang 0,25 dari batas minimal.Terkenal dengan aturan-aturannya
yang disiplin dan hukuman yang sangat berat. Namun sebenarnya beliau adalah
pribadi yang sangat baik dan patut dicontoh.
3. Pak Drs. Julian
Ichsan Balia; Kepala Sekolah SMA Negeri Manggar.Laki-laki muda, tampan, lulusan
IKIP Bandung yang masih memegang teguh idealisme.
4. Nurmala; Zakiah
Nurmala binti Berahim Mantarum,gadis pujaan Arai sejak pertama kali Arai
melihatnya. Nurmala adalah gadis yang pandai, selalu menyandang ranking 1. Ia
juga penggemar Ray Charles dengan lagunya I Can't Stop Loving You dan
Nat King Cole dengan lagunya When I Fall in Love.
5. Laksmi; gadis pujaan
Jimbron. Telah kehilangan kedua orangtuanya dan tinggal serta bekerja di sebuah
pabrik cincau. Semenjak kepergian orangtuanya ia tidak pernah lagi tersenyum, walaupun
senyumnya amat manis. Ia baru dapat tersenyum ketika Jimbron datang mengendarai
sebuah kuda.
6. Capo Lam Nyet Pho;
Seorang yang memungkinkan berbagai hal sebagai objek untuk bisnisnya. Bahkan
ketika PN Timah terancam kolaps, ia melakukan ide untuk membuka peternakan kuda
meskipun kuda adalah hewan yang asing bagi komunitas Melayu.
7. Taikong Hamim; Guru
mengaji di masjid di kampung Gantung.Dikenal sebagai sosok nonkonfromis dan
sering memberlakukan hukuman fisik kepada anak-anak yang melakukan kesalahan.
8. Bang Zaitun;
Seniman musik pemimpin sebuah kelompaok Orkes Melayu. Dikenal sebagai orang
yang pernah mempunyai banyak pacar dan hampir
memiliki 5 istri.
Sebenarnya kunci keberhasilannya dalam percintaan adalah sebuah gitar. Ia pun
mengajarkan hal tersebut pada Arai yang sedang mabuk cinta dengan Nurmala.
9. A Kiun; Gadis Hokian
penjaga loket bioskop.
10. Nurmi; Berbakat
memainkan biola, mewarisi biola dan bakat dari kakeknya yang ketua kelompok
gambus di Gantung. Nurmi adalah tetangga Arai dan Ikal, seumuran, dan dia
adalah gadis yang sangat mencintai biola.
11. Pak Cik Basman;
Seorang tukang sobek karcis di sebuah bioskop di Belitong.
12. A Siong; Pemilik
toko kelontong tempat Ikal dan Arai berselisih tentang penggunaaan uang
tabungan
13. Deborah Wong; Istri
A Siong dan ibu dari Mei Mei. Perempuan asal Hongkong yang tambun dan berkulit
putih.
14.
Mei Mei; Gadis kecil anak Deborah Wong
15.
Seman Said
Harun : ayah
Ikal, yang sangat pendiam, bekerja sebagai pendulang timah dan akan memakai baju
safari empat saku jika akan mengambil rapotnya Ikal dan Arai.
16. A Ling, walau hanya sekali
disebut dalam novel ini ia adalah wanita hokian yang sangat dicintai Ikal, anak
pemilik Toko Sinar Harapan dan meninggalkan Ikal untuk merantau ketika Ikal kelas
tiga SMP.
4.
Latar
Latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang
tergambar dalam cerita. Keberadaan elemen latar pada hakikatnya tidaklah hanya
sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung,
melainkan keterkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan
pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (Sudjiman.1994:46).
a.
Latar tempat :
·
Pulau Magai Balitong : Aku dan Arai untuk pertama kali
pulang ke Belitong. Kami telah memenuhi tantangan guru SD-ku, Bu Muslimah dan
Pak Mustar, yaitu baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami
mampu menyelesaikan kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar
weselpun (hal. 263), Pulau Belitong tumpah darahku,
terapung-apung tegar, tak pernah lindap diganyang ombak dua samudra dahsyat
yang bergelora mengurungmu, Belitong yang kukuh tak terkalahkan,…(SP, 221).
·
Pasar : Sekarang
delapan orang memikul peti dan peti
meluncur menuju pasar pagi yang ramai (SP, 20).
·
Los pasar dan dermaga pelabuhan : Jika
merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang
adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali
seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari
dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah
aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama
ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan.
Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya
·
Los Kontrakan : Dan sampai di los
kontrakan, melongok ke dalam kaleng celenganku yang penuh, penuh oleh uang
receh darah masa mudaku yang berapi-api perlahan padam (SP, 144).
·
Gedung bioskop : Jika merapat di Dermaga Olivir
Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung
bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India
dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu
melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata
mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar
Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung
berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).
·
Di sekolah SMA Negeri Bukan
Main :
Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu
pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus….(SP, 6), WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena
keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para intelektual muda SMA
Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat
menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan.
·
Terminal Bogor
·
PulauKalimantan.
b.
Latar
waktu :
·
Pagi : Pagi merekah, bayangan kuda dan ksatria membayang seperti
siluet di tengah sebuah benda bulat merah jingga yang muncul pelan-pelan di
kaki langit (SP, 179).
·
Siang
: Pancaran matahari menikam lubang-lubang
dinding papan seperti batangan baja stainless
siang itu.
·
Sore : Inilah bintang kejora pertunjukan sore
ini (SP, 172), Hujan sore tadi
tapi sekarang langit cerah, purnama timbul tenggelam di antara
gumpalan-gumpalan awan (SP, 203).
·
Malam
: Susah kupejamkan mataku malam-malam memikirkan kehebatan lompatan
karierku dari kuli ngambat beberapa bulan yang lalu sekarang jadi amtenar yang
berangkat kerja dengan baju seragam (SP, 243).
c.
Latar
nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak remaja yang diselimuti impian-impian
besar.
5.
Sudut
pandang
Sudut PandangSudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan).
Dimana penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.
6.
Gaya
Penulisan
Gaya
penceritaan novel ini sangat sempurna. Yaitu kecerdasan kata-kata dan
kelembutan bahasa puitis berpadu tanpa adaunsur repetitif yang membosankan.
Setiap katanyamengandung kekayaan bahasa sekaligus makna apik dibaliktiap-tiap
katanya. Selain itu, Novel ini ditulis dengan gaya realisbertabur metafora, penyampaian
cerita yang cerdas danmenyentuh, penuh inspirasi dan imajinasi. Komikal dan
banyak mengandung letupan intelegensi yang kuat sehingga pembacatanpa disadari
masuk dalam kisah dan karakter-karakter yangada dalam novel Sang Pemimpi.
7.
Amanat
Amanat
yang disampaikan dalam Sang Pemimpi ini adalah jangan berhenti bermimpi.
Hal itu sangat jelas pada tiap-tiap sub babnya. Yang pada prinsipnya manusia
tidak akan pernahbisa untuk lepas dari sebuah mimpi dan keinginan besar dalam hidupnya.
Hal itu secara jelas digambarkan penulis dalam novelini dengan maksud
memberikan titik terang kepada manusiayang mempunyai mimpi besar namun
terganjal oleh segala keterbatasan.Sudut
Pandang Sudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan). Dimana penulis
memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.
3.
Analisis
Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Sosiopsikologis
Sosiologi
dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda.Sosiologi
adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan
kenyataan sosial sebagai objek formal.Dalam perspektif sosiologi, kenyataan
sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama,
yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.Sosiologi
sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan
karya sastra. Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan
karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya.Padahal, ada
saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum
penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul
konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan
dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya.
Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang,
karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi
pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat. Dapat
dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan
kehidupan sosial budayanya.Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya.Sehingga
munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak
disampaikan oleh pengarang.Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai
yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang
hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.
Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk
karya sastra yang akan dihasilkan.
Menurut
pengamatan novel Sang Pemimpi merupakan novel yang mengandung
unsur-unsur budaya. Menurut Koentjaraningrat (1974), kebudayaan memiliki tujuh
unsur, yaitu:1) sistem religi dan upacara keagamaan; 2) sistem dan organisasi
kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) system mata
pencarian hidup; dan 7) sistem teknologi dan peralatan. Jika ditinjau dari
unsurunsur kebudayaan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa novel ini menitikberatkan
pada masalah sistem pengetahuan atau pendidikan. Bagi anak-anak Melayu
pedalaman Belitung, mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan.
Oleh karena itu, masyarakat Belitung memiliki semboyan jangan dak kawa
nyusa aok yang artinya, setiap keberhasilan memerlukan kerja keras. Kerja
keras anak-anak Belitung tampak pada
penggalan
cerita di bawah ini :
Kami berdiri dari pagi sampai
malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan
pengetahuan botani, fisiologi tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika di
muka kami. Lipatan aksara ilmu pada kertas-kertas yang tajam mengiris jemari
kami, menyayat hati kami yang bercita-cita besar ingin melanjutkan sekolah.
Kami kelelahan ditumpuki buku-buku tebal dari mahasiswa baru sampai professor
yang akan pensiun dalam euforia akademika yang sedikit pun tak dapat kami
sentuh. Pekerjaan fotokopi menimbulkan perasaan sakit nun jauh di dalam hati
kami (hal.238).
Aku dan Arai untuk pertama kali pulang ke
Belitong. Kami telah memenuhi tantangan guru SD-ku, Bu Muslimah dan Pak Mustar, yaitu
baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami mampu menyelesaikan
kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar wesel pun (hal. 263).
Teori
sosiosastra juga digunakan untuk menelaah novel Sang Pemimpi agar
nilai-nilai sosial yang terpusat pada nilai budaya dapat dianalisis
dengan mengaitkan antara latar, alur, penokohan, dan tema dengan unsur-unsur
kebudayaan, seperti: pendidikan, cita-cita, cinta, mata pencarian, system
kemasyarakatan, teknologi, dan religi. Karena karya ini tidak terlepas dari
nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai sosial di
antaranya adalah nilai pendidikan. Hal ini terbukti pada petikan kalimat
berikut:
“Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak
punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi.
Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpimimpi itu!!”(hal.153)
Namun, sekarang aku memiliki
filosofi baru bahwa berbuat yang terbaik pada titik di mana aku berdiri. Maka sekarang aku adalah
orang yang paling optimis. Aku terpatri dengan cita-cita agung kami: ingin
sekolah ke Perancis, menginjakkan kaki di Sorbone, menjelajahi Eropa sampai ke
Afrika. Tak pernah sedikit pun mengkompromikan cita-cita itu (hal.208).
Nilai
budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan
kalimat di bawah ini:
Jika merapat di Dermaga
Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan
paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film
Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan
suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa
muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti
selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).
4.
Analisis
Novel Sang Pemimpi berdasarkan Pendekatan Didaktis
Pendekatan
didaktis adalah pendekatan yang berusahaa menemukan dan memahami gagasan,
tanggapan evaluative maupun sikap pengarang terhadaap kehidupan. Gagasan,
tanggapan maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis,
filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai moral yang mampu
memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
1.Nilai
Pendidikan Religius
Nilai religius
merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan
seisinya. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan
agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Agama dapat pula bertindak
sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan hidup, dan perangsang atau pemberi
makna kehidupan. Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan keutuhan
masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus
menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Seperti dalam kutipan di
bawah ini.
“Jimbron adalah
seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami
heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya
beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami
memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia
menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit
pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika
mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (SP, 61)
Di lihat dari
kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi mencerminkan
tokoh yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun dia hidup di
lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penamaan nilai religius
yang tinggi mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong dan tidak angkuh pada
sesama. Manusia menjadi saling mencintai dan menghormati, dengan demikian
manusia bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan Tuhan, sesama manusia
maupun makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang
penyayang dan menghormati manusia lain yang beda agama, ternukti bahwa Jimbron
sebagai anak angkatnya justru malah setiap harinya diantar mengaji dan tidak
sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak
pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Kutipan di atas
mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan
penulis melalui gaya bahasa pars pro toto yang terlihat pada kata “sebatang
kara” yang berarti tidak punya siapa-siapa, hanya hidup seorang diri tanpa
ada keluarga di dekatnya. Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan
sebagian dari keseluruhan, berarti kata tersebut dalam kutipan di atas yang
hidup sebatang kara yang dimaksud adalah Jimbron.
Sebuah karya
sastra yang mengangkat sebuah kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan
menggugah hati nurani dan akan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada
diri penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat
berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Jika setiap
manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya, maka hubungan yang
harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup manusia menjadi tenteram dan
bahagia karena nilai religius merupakan keterkaitan antarmanusia dengan Tuhan
sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan di dunia. Nilai religius akan
menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam
keseharian kita kenal dengan takwa. Seperti yang tergambar dalam tokoh Arai di
bawah ini.
“Setiap
habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di bawah temaram lampu
minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam.”
Perilaku Arai
dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang yang taat pada perintah
agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu membacakan
ayat-ayat suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa diperintah siapapun.
Kutipan di atas
mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan
penulis melalui gaya bahasa hipalase yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata
tertentu untuk menerangkan sesuata, namun kata tersebut tidak tepat bagi kata
yang diterangkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat “seisi rumah kami
terdiam”, yang dimaksud dalam kalimat kalimat tersebut adalah anggota
keluarga Arai.
2. Nilai
Pendidikan Moral
Nilai moral sering
disamakan dengan nilai etika, yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patut
tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah
laku atau perbuatan manusia yang dipandang dari nilai individu itu berada.
Sikap disiplin tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi dalam
segala hal, sikap yang penuh dengan kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan.
Seperti halnya jika dalam agama, seorang hamba jika menjalankan shalat tepat
waktu akan mendapat pahala lebih banyak, demikian juga jika disiplin dijalankan
pada pekerjaan lainnya dan tanpa memandang siapa yang berperan dalam melakukan
perbuatan disiplin tersebut, Seperti pada kutipan berikut mengandung nilai
moral yang sangat penting.
“WC ini sudah
hampir setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia
cacing, para intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya
telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak
tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral
itu, mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang mengajarkan
bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan kamilah yang menaanggung semua
kebejatan moral mereka.”(SP, 130)
Kutipan di atas
sangat tidak pantas dijadikan contoh bagi masyarakat, khususnya para penerus
bangsa (siswa). Jelas WC yang keran airnya mampet, malah masih digunakan.
Apalagi yang menggunakannya adalah para intelek muda yang dasar pendidikannya
ada. Mereka yang menggunakan tidak menghiraukan walaupun agama sudah
mengajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka yang melakukan justru
malah tidak merasa bersalah, walaupun orang lain yang kena dampak dari ulah
mereka. Pendidikan moral sangat penting untuk mendidik manusia yang belum benar
tapi merasa sudah benar.
Kutipan di atas
mempunyai kandungan nilai pendidikan moral karena secara jelas disampaikan
penulis melalui gaya bahasa sarkasme yaitu gaya bahasa sindiran yang paling
kasar dalam pengungkapannnya. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “tempurung
otaknya telah pindah ke dengkul”. Arti dari kalimat tersebut adalah orang
yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli aturan dan etika.
Pengembangan nilai
moral sangat penting supaya manusia memahami dan menghayati etika ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan
nilai-nilai etika mampu menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan
demikian akan terwujud perasaan saling hormat, saling sayang, dan tercipta
suasana yang harmonis. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“ LAIN KALI
MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!! PASANG HURUF H BESAR DI DEPAN NAMANYA,
MENGAKU DIRINYA HAJI???!! PADAHAL AKU TAHU KELAKUANNYA!! WAKTU JADI MAHASISWA,
WESEL DARI IBUNYA DIPAKAINYA UNTUK MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP, 168)
“ITULAH KALAU
KAU MAU TAHU TABIAT PEMIMPIN ZAMAN SEKARANG, BOI!! BARU MENCALONKAN DIRI SUDAH
JADI PENIPU, BAGAIMANA KALAU BAJINGAN SEPERTI ITU JADI KETUA!!??”(SP, 168)
Kutipan di atas
terlihat jelas mengandung nilai pendidikan moral melalui penggunakan gaya
bahasa antifrasis yaitu gaya bahasa sindiran yang mempergunakan kata-kata yang
bermakna kebalikannya dan bernada ironis. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “bagaimana
kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti
menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak baik seandainya menyalonkan
menjadi ketua, maka tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
Kedua kutipan di
atas mengandung makna tersirat nilai moral, karena tercantum jelas bahwa bupati
yaitu pemimpin sekarang kelakuannya sudah tidak jujur dan menghalalkan segala
cara hanya demi merebut kursi kepemimpinannya. Hal tersebut perlu diubah,
supaya moral manusia yang lain tidak ikut tercemar. Adapun nilai yang dimaksud
dalam konteks tersebut menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu rangkaian cerita karena karya sastra
itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku.
3. Nilai Pendidikan
Sosial
Nilai sosial
merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup
sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek,
gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya. Karya sastra berkaitan erat
dengan nilai sosial, karena karya sastra dapat pula bersumber dari
kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai sosial mencakup
kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan
penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan
sekitar. Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik.
Kritik tersebut dilatar belakangi oleh dorongan untuk memprotes ketidakadilan
yang dilihat, didengar maupun yang dialaminya, seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut.
“Aku ingin
menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai
menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang
membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan
di atas dapat di jelaskan bahwa walaupun Ikal sangat benci kepada Arai tapi
jiwa penolongnya kepada Jimbron masih tetap ada dalam dirinya, karena dia
merasa walau bagaimanapun mereka adalah bersaudara. Kutipan di atas secara
jelas megandung nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya bahasa
hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan,
misalnya membesar-besarkan suatu hal dari yang sesungguhnya. Hal itu dapat
dilihat dari ungkapan “benci setengah mati” yang mempunyai arti sangat
membenci.
Nilai sosial
berkenaan dengan kemanusiaan dan mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih
sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan sifat-sifat yang ditujukan
untuk kepentingan kemanusiaan lainnya yang merupakan kebiasaan yang diwariskan
secara turun temurun. Seperti yang tercermin pada kutipan di bawah ini.
“Aku membantu
membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun
itu dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak
kan ada siapa-siapa untuk mengambil apapun.”(SP, 25)
Beberapa hari
setelah ayahnya meninggal Ikal dan ayahnya menjemput Arai untuk di bawa ke
rumahnya. Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada waktu menjemput
Arai, Ikal membantu Arai untuk membawakan buku-bukunya yang masih perlu di
bawa.
Kutipan di atas
dapat didlihat secara jelas mengandung nilai pendidikan sosial melalui
penggunakan gaya bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu dengan
yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Hal tersebut dapat dilihat dari
kata “membawa”, “meninggalkan”, dan “membiarkan. Kata itu mempunyai
pertautan dalam satu kutipan.
Nilai sosial juga
berupa hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup
sosial. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan
masyarakat yang diinterpretasikan sehingga diharapkan mampu memberikan
peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan. Cerminan tersebut dapat dilihat dari
kutipan di bawah ini.
“Aku tersenyum
tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba
ini, Arai telah memutar balikkan logikasentimental ini. Ia justru berusaha
menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan di atas
menggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu
kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat dilihat
dari kalimat “aku tersenyum tapi tangisku tak reda”. Kalimat tersebut
mempunyai arti Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis . Tokoh Ikal yang
seharusnya menghibur Arai ketika ia mendapat musibah ternyata malah berputar
terbalik. Justru Arai yang berusaha menghibur Ikal supaya dia tersenyum, itulah
sosok Arai yang tidak mudah ditebak. Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain
juga dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Arai
menyerahkan karung-karung kami pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku
tertegun mendengar rencana Arai, dengan bahan itu dimintanya Mak Cik membuat
kue dan kami yang akan menjualnya. Mulai sekarang Mak Cik mempunyai
penghasilan! Seru Arai bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan di atas
menggunakan gaya bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau
terkaget-kaget” dan kalimat tersebut mempunyai arti yaitu sangat terkejut.
Arai tidak tega
melihat Mak Cik yang hidup kesusahan. Dia juga menyuruh Arai untuk memecah
celengannya untuk menolong Mak Cik. Cara mereka dengan membelikan bahan-bahan
untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat membalas
budi atas kebaikan orang lain pada nilai sosial sangatlah penting. Sifat
tersebut juga bertujuan untuk membangun sikap saling peduli dan saling peka
antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di bawah ini.
“Aku ingin
membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia lakukan pada
Jimbron. Seperti yang selalu ia lakukan padaku. Aku sering melihat sepatuku
yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali, Arai
diam-diam memakunya. Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas
tiba-tiba lengkap kembali, tanpa banyak cincong Arai menjahitnya. Jika
terbangun malam-malam, aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai
menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia membelaku dalam perkara
rambut belah tengah toni Koeswoyo saat aku masih SD dulu. Bertahun lewat taoi
aku tak kan lupa Rai, akan kubalas kebaikanmu yang tak terucapkan itu, jasamu
yang tak kenal pamrih itu, ketulusanmu yang tak kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan di atas
menggunakan gaya bahasa perumpamaan yaitu perbandingan dua hal yang pada
hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari
kalimat “sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur” yaitu sepatu
yang lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan dengan buaya yang berjemur,
yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung jawab
terhadap kebahagiaan orang lain juga menjadi jaminan untuk menjalankan sikap
kemanusiaan, supaya kebahagiaan orang lain terasa lengkap dengan sikap kita
terhadapnya.
“Bang Zitun
sangat komit pada penampilan Arai kali ini sebab ia merasa bertanggung jawab
pada kegagalan Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan di atas
adalah wujud sikap tanggung jawab Bang Zaitun untuk memksimalkan penampilan
Arai dalam memikat hati Nirmala sang pujaan hatinya, karena penampilan Arai
yang pertama kurang maksimal sehingga untuk memikat hati Nirmala bisa dikatakan
gagal.
4. Nilai
Pendidikan Budaya
Nilai pendidikan
budaya adalah tingkat yang palig tinggi dan yang paling abstrak dari adat
istiadat. Hali itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan
konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari
warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai., berharga
dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
member arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakatnya.
Walaupun
nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat,
tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum mempunyai
ruang ligkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional
dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret
itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah
emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan
bersangkutan. Kebiasaan dalam daerah tertentu juga memengaruhi tata cara dalam
kehidupan sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini.
“Dan
seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata
beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat melayu
ketika mulai beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah berusaha bekerja mencari
uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Maka tidak
heran, banyak remaja yang memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan memilih
untuk bekerja. Kutipan di atas secara jelas mengandung nilai pendidikan budaya
melalui penggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa yang bertentangan
dalam satu kalimat. Hal itu dapat dilihat dari kata “anak-anak” dan “remaja”
terdapat pada satu kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur dan
nilai kebudayaan juga dapat dilestarikan dengan menggunakan benda atau barang
kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut juga diterapkan oleh masyarakat
Melayu, yaitu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Padi dalam
peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan
tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu
dan keluarga tikus berbulu kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.”
(SP, 36)
Kutipan di atas
terdapat kata “peregasan” yang artinya adalah peti papan besar tempat
menyimpan padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya pasti terdapat
peregasan yang berfungsi untuk menyimpan beras. Bagi orang Melayu juga
menganggap peregasan adalah sebuah metafora, budaya, dan perlambang yang
mewakili periode gelap selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka.
Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma
menjadi nostalgia romantik.
Kutipan
di atas secara jelas mempunyai kandungan nilai pendidikan budaya melalui
penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu terlihat pada kalimat “keluarga
tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ”. Kalimat
tersebut mempunyai arti bahwa hewan tikus yang berkembang biak sangat banyak.
Nilai
budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan
kalimat di bawah ini:
Jika
merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang
adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali
seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari
dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah
aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah
masa yang
berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti
selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).
5. Analisis
Novel Sang Pemimpi Menggunakan Pendekatan Biografi
Biografi Andrea Hirata
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea
Hirata sendiri merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said Harunayah
dan NA Masturah. Ia dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin
dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa
dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari
kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di
sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.
Nama
Andrea Hirata Seman Said Harun melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, Laskar
Pelangi. Pria yang berulang tahun setiap 24 Oktober ini semakin terkenal
kala novel pertamanya yang jadi best seller diangkat ke layar lebar oleh
duo sineas yaitu Riri Riza dan Mira Lesmana. Selain Laskar Pelangi,
lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menulis Laskar Pelangi dan
Edensor, serta Maryamah Karpov. Keempat novel tersebut tergabung
dalam sebuah tetralogi tetralogi. Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria
yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni
Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis
dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi
telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia
lulus cumlaude.
Tesis
itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi
telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah
beredar sebagai referensi ilmiah. Penulis Indonesia yang berasal dari Pulau
Belitong, Provinsi Bangka Belitung ini masih hidup melajang hingga sekarang.
Status lajang yang disandang oleh Andrea sempat memicu kabar tak sedap. Karena
pada bulan November 2008, muncul pengakuan dari seorang perempuan, Roxana yang
mengaku sebagai mantan istrinya. Akhirnya terungkap bahwa Andrea memang pernah
menikah dengan Roxana pada 5 Juli 1998, namun telah dibatalkan pada tahun 2000.
Alasan Andrea melakukan pembatalan ini karena Roxana menikah saat dirinya masih
berstatus istri orang lain.
Sukses
dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang pertama,
telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, Laskar Pelangi pada
2008. Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana pada
produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir
tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali
merilis novelnya Sang Pemimpi.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Analisis
suatu karya sastra dapat menggunakan berbagai macam pendekatan.Pendekatan
digunakan untuk memperdalam pemahaman tentang aparesiasi sebuah karya sastra
prosa. Pendekatan yang paling dominan yaitu melalu pendekatan emotif karena
pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur
yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan
dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan
isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dan dalam menganalisis novel Sang
Pemimpi banyak ditemukan unsur keindahan dari seorang pengarang melalui gaya
bahasa.
Saran
Penghargan
terhadap sebuah karya itu penting karena dengan begitu kita akan lebih memahami,
menghayati dan menilai sebuah karya sastra prosa secara penuh dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Hirata,
Andrea.2008. Sang Pemimpi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya
bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachmad
Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soyoto. 2008. “Majas”. Dalam http://oyoth.wordpress.com/2008/02/01/gaya-bahasa/
diakses pada tanggal 13 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar