Perempuan selalu punya cerita
menarik untuk dikupas, mulai dari asal katanya misalnya para aktivis perempuan
merasa lebih terhormat dengan penggunaan kata “perempuan” katimbang “wanita”
karena kata “wanita” diasumsikan kependekan dari wani ditoto (mau
diatur-atur). Lanjut lagi para aktivis perempuan juga menyakini bahwa bangsa
ini lebih mengenal budaya feminimisme daripada budaya patriarki dengan merujuk
banyaknya istilah seperti ibu kota dan ibu jari.
Sedangkan budaya patriarki
sendiri lebih dikenal berasal dari barat dan bisa kita ketahui dari penggunaan
istilah dalam bahasa mereka seperti chairman, woman-diambil dari kata man-,
mankind dst. Berasal dari situlah para pakar bahasa perempuan barat
kontemporer menolak menggunakan istilah tersebut dan lebih tertarik
menggantinya dengan istilah yang lebih netral semisal chairperson atau
humankind karena dianggap lebih adil dan tidak diskriminatif.
Sebenarnya jika ditelusuri lebih
dalam bukan istilah tersebut yang perlu ditelaah Namun substansi kata itulah
yang perlu diperjuangkan. Berbicara tentang budaya patriarki maupun feminisme
sebenarnya ini tak kan lepas dari Dunia Gender. Gender disini berbeda arti
dengan sex. Sex sendiri lebih didefinisikan sebagai alat kelamin atau perbedaan
antara perempuan dan laki-laki yang sudah menjadi kodrat atau bawaan dari
lahir. Sedangkan Gender adalah hasil konstruksi sosial budaya terhadap sudut
pandang seseorang mengenai posisi lelaki dan perempuan di masyarakat.
Gender Dalam Perspektif
Budaya
Meski telah disebutkan diatas
dalam segi peristilahan budaya kita kurang mengenal akan budaya patriarki namun
juga perlu di akui budaya kita selama ini lebih menempatkan perempuan sebagai
insan kedua. Kita masih sering mendengar di pedesaan bahwa perempuan cuma
diberi ruang berkutit di sekitar tiga M yaitu; Macak, Manak ,dan
Masak. Ironisnya diakui atau tidak kita juga sering menanamkan pemahaman
tersebut ke anak-anak bahwa perempuan hanya hidup dalam dunia perdapuran saja.
Semisal sewaktu kita memberikan contoh kepada anak didik dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Yaitu ‘ ibu pergi kepasar dan ayah pergi ke kantor. Mengapa tidak
sebaliknya?
Oleh karena itu kita sering
melihat poster disepanjang jalan yang bertuliskan “Tuhan membuat setara,
manusia membedakanya” yang bermaksud pada dasarnya seluruh manusia itu setara hanya
saja terkadang manusia membedakanya berdasarkan jenis kelamin semata. Perempuan
dianggap lebih rendah dari laki-laki dan harus menurut apa kata suaminya dengan
legitimasi agama bahwa surganya istri berada di tangan suami, sehingga dalam
kebudayaan kita perempuan hanya mengenal istilah sendiko dawuh.
Juga masih teringat jelas betapa
menyejarahnya cerita Siti Nurbaya yang mengisahkan ketertindasan
perempuan oleh kesewenanga lelaki tak bertanggung jawab. Siti Nurbaya dipaksa
menikah dengan orang yang tak dicintainya. Siti Nurbaya tidak dapat menolak hal
tersebut karena budaya pada masa itu mengharuskan setiap perempuan untuk selalu
patuh tanpa harus diberikan haknya untuk berpendapat. Akhirnya betapa tragis
nasib Siti Nurbaya yang harus meninggal ditangan suaminya sendiri.
Jika kita amati perempuan seakan
selalu menjadi manusia nomor dua dalam budaya kita bahkan dalam karya fiksi
sekalipun. Untungnya suara-suara pembebasan kini mulai terdengar nyaring di
bumi pertiwi ini. Sebut saja kritik sastra feminisme (KSF) yang mengkritik
karya sastra yang hanya bisa menjadikan perempuan sebagai korban tanpa adanya
upaya menjunjung tinggi harkat martabat mereka.
sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar